Sabtu, 27 Januari 2024

Pagi yang Riuh

Manusia itu memiliki cara pandang yang unik. Setiap ia melihat suatu persoalan orang lain, lalu ia memutuskan untuk tidak begini dan begitu. Tujuannya agar ia tidak mengulangi hal sama yang terjadi pada orang itu. 

Bisa dibilang, perilaku ini disebut dengan kekhawatiran terhadap sesuatu yang bahkan belum terjadi apalagi menimpa kita. Semuanya dalam cara pandang orang ketiga. Dalihnya, sebagai upaya preventif agar kehidupan yang dijalani jauh lebih baik. Bukan begitu?

Lalu, sejak malam hingga pagi ini, salah satu grup yang ku ikuti ramai membicarakan soal perempuan dan ancaman kekhawatiran yang melingkupinya. Soal ancaman double burden yang dialami ibu. Ia punya tanggung jawab domestik yang tidak sedikit, namun perlu juga mengaktualisasi dirinya di luar rumah.

Simpelnya: urusan pekerjaan versus domestik (pekerjaan rumah, anak, pendidikan, de el el). Sanggupkah ibu memikul semuanya sendirian? Bagaimana dengan ayah?

Diskusi ini bermula saat seorang kawan kami membawakan materi bertajuk ibu sebagai "madrosatul 'ula". Lalu, seorang kawan lain membawa persoalan yang ada dalam kehidupan sehaei-hari. 

Sehingga timbul tanya, bagaimana ibu bisa menjadi madrasah pertama apabila ia memikul banyak beban di pundaknya? Apakah solusi Islam tampak idealis namun juga utopis? Mengutip guyonan mentor kami selama PKU, "Jangan kaya Teh Botol Sosro. Apapun masalahnya, Khilafah Islamiyah solusinya." Lalu, ramailah grup tersebut dengan berbagai tawaran ide.

Ada yang tidak sepakat pada penggunaan term 'burden'. Apakah posisi perempuan di keluarga disebut sebagai beban? Beban sebagai istri maupun ibu?

Ada yang mengkaitkannya pada fenomena fatherless yang melanda negeri ini. Saking fenomenalnya, perempuan juga harus mengerjakan kewajiban suami sekaligus ayah: mencari nafkah, mendidik anak dan mengurusi domestik.

Tidak sampai di sini. Ada pula yang berpandangan bahwa sebenarnya feminis itu perlu di Indonesia. Karena mereka memberikan tanggapan yang lebih rasional dan aplikatif dalam menghadapi kasus KDRT misalnya.

Feminis lokal dianggap "berbeda" dibanding ibu kandungnya di Eropa sana. Sebab, katanya lagi, feminis lokal tidak menyerang relasi pria dan wanita. Namun, lebih pada mengupayakan pada pemberdayaan wanita, notabene selaras pada fungsi Islam.

Setelah banyak hal didiskusikan, pastilah jua kita ingin mendapat hasil akhir yang memuaskan. Apa solusinya?

Wah, ini kudu dibedah satu per satu dalam tulisan berikutnya. Bagaimana sebenarnya Islam, khususnya Al-Quran, memandang semua hal yang terjadi dan nyata di kehidupan kita?

Sebelum menutup tulisan, saya ingin mengutip ungkapan Ustadz Andriano Rusli yang mungkin sesuai. Bahwa semua kekacauan berpikir ini --kita perlu sepakat soal ini-- adalah sebab tidak adanya Kurikulum Keluarga. Kurikulum ini merupakan buah dari keimanan yang seringkali tidak disadari, bukan tidak dipahami, oleh orang yang sudah berpengetahuan sekalipun.

Jadi, perlukah kita bahas satu per satu di tulisan berikutnya? 

Senin, 25 Desember 2023

Pe-Ka-U

Dalam hitungan hari, tahun 2023 akan resmi ditutup. Tak berapa lama lagi, dunia akan ramai dengan sorak sorai menyambut tahun baru 2024. Berbagai kembang api menjadi andalan setiap negeri. Seakan-akan, ia merupakan prestasi apabila mampu menyajikan penampilan paling spektakuler. 

Buat ku sendiri, tahun 2023 merupakan tahun yang penuh kesan. Betapa tidak, tahun ini mirip seperti uji nyali ketangkasan dan kemawasan diri. Ibarat nahkoda, tahun ini menjadi pertarungan melawan ombak: akankah aku bertahan?

Qadarullah masya fa'al. Di antara ombak-ombak itu, ada lintasan-lintasan yang juga indah. Melanjutkan ilustrasi ombak lautan tadi, masa-masa tenang menikmati pagi dan senja di keheningan merupakan nikmat tiada tara. Masa-masa inilah yang ku sebut Pe-Ka-U.

Takdir tak pernah tahu, ternyata, seindah itu ya menuntut ilmu. Ilmu merupakan pelipur lara yang paling ajaib. Ia juga penuntas kelaparan dan kehausan diri yang dilalap kebodohan. Ada banyak keajaiban ketika merasakan proses itu. Kesulitan yang tiada tara. Hingga terkenang: "demikian hebatnya para pendahulu kita, mampu menekuri ilmu bertahun-tahun lamanya. Meski raga tak lagi hidup di dunia, namun karyanya tak pernah lekang melintasi zaman."

Pe-Ka-U menjadi ajang akselerasi segala informasi tentang Islam, pemikiran, tradisi salaf, tradisi Barat, problematika dakwah hingga tasawuf. Semuanya berpendar mencari-cari format terbaik dalam membentuk pemahaman. Atau setidaknya, ia menjadi pintu 'shorcut' dalam memahami realitas dunia kita saat ini. Misalnya, pertanyaan klasik tentang mengapa dunia Islam merana selama ini?

Pe-Ka-U menyajikan penjelajahan akademis yang menakjubkan. Selama ini, kita hanya menyantap sepotong informasi, itu pun telah terdiferensiasi. Sehingga, kepala ini sulit untuk mencerna dan mencari solusi. Sebab, satu kajian dengan kajian lainnya seakan tak memiliki narasi hubung satu sama lain.

Tapi kini, melalui Pe-Ka-U, aku bisa mengambil sebuah garis merah. Bahkan menemukan celah-celah kritik mengapa suatu gerakan belum lagi mendukung suatu kebangkitan. Apa yang diwariskan Imam Ghazali, Badi'uzzaman, Syed Naquib al-Attas hingga Syaikh Ahmad Yasin merupakan pendulum yang terhubung satu sama lain. Mereka menyampaikan hal yang kurang lebih serupa. Bagaimana kebangkitan dimulai dari duduk belajar di surau-surau lalu mengkaji ilmu secara mendalam.

Dari surau-surau inilah, puluhan tahun berikutnya lahir Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayubi. Surau-surau itu jua yang menjaga keimanan masyarakat Turki dalam ancaman sekularisme. Di Indonesia, surau-surau itu menjelma dalam bentuk pondok pesantren. Tak terbilang tokoh dan ulama besar lahir dan bertumbuh menyokong negara ini.

Begitu pula, Palestina yang kita lihat saat ini. Dari rahim ulama yang lumpuh, lahir pejuang-pejuang tangguh yang tinggi kedudukannya, puluhan tahun berikutnya. Jumlahnya memang sedikit, namun mampu merobek kepongahan musuh. Mereka cerdas, shalih dan membuat musuh gentar. Mereka menjadi simbol kebanggaan, simbol perjuangan dan simbol martabat diri di atas kepongahan peradaban yang anti agama ini!

Maka, dari sanalah, di dalam surau-surau kecil itu, mari kita bibit pejuang-pejuang li i'la kalimatiLlah. Puluhan tahun mendatang, pundak mereka akan menjadi perwakilan kita membangun kembali peradaban ini. Di atas tanah dan air, serta seluruh permukaan bumi!

Pertengahan Jumadil Akhir,
Mari kita berbenah

Minggu, 25 Juni 2023

Kampung Nan Damai

Tanpa dinyana, sudah beberapa tahun saya tinggal di kampung ini. Orang menyebutnya Darussalam, kampung nan damai. Tidak ada yang menduga dan siapa sangka, saya akan menjadi bagian dari kampung itu, mengais ilmu-ilmu di usianya yang mulai merangkak senja. 

Senin, 29 Mei 2023

Ceruk Asa

Di depan sebuah ceruk tanah berisi air, aku menerka-nerka raut wajah yang terpantul di sana. Seperti apakah raut wajahku kini? Adakah ia berubah sejak bermula, menjadi lebih baik dan terkumpul kebaikan di dalamnya. Ataukah identitas yang lalu itu menghilang, menguap dalam bayang-bayang khayal yang fana.

Minggu, 14 Mei 2023

Segera

Dari Ibn 'Umar berkata, Rasulullah Saw. memegang pundakku lalu berkata: "Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang melintasi jalan (safar)." Lalu Ibn Umar ra berkata, "Jika engkau berada di waktu pagi, maka jangan tunggu sore. Jika engkau di sore hari, maka jangan tunggu pagi. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu dan waktu hidupmu sebelum matimu." (HR. Bukhari)