Ayah

Hari itu, hari spesial bagi seorang saudari. Belum lama, ayahnya telah berpulang, kali ini, ia menggelar pernikahan. Bukan, bukan hal itu yang ku maksud. Ada satu hal yang membuatku takjub tiada tara. Ketika mata-mata mengarah pada satu pandang: akad yang menggetarkan  'arsy. Justru, mataku memandang hal lain. Berkali-kali aku mengulang doa, hampir-hampir menumpahkan air mata di keramaian.

Mulaikanlah ia, Rabb. Muliakan. Sungguh, ia adalah surga baginya. Rabb, muliakanlah.

Wajah itu tak sedikit pun menyiratkan penat. Tak ada malu, tak ada canggung. Berdiri, duduk, jongkok lalu berdiri lagi, seterusnya ia jalani tanpa keluh sedikit pun. Tangannya yang legam, mencengkeram erat buah hati yang tak mampu berdiri tegak. Wajahnya bulat, penuh luka. Beberapa kali, kau harus menghentikan tangannya yang tak pernah diam itu. Ia mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri, memukulnya, hingga bopeng dibuatnya. Entah, ada berapa luka yang ada di kepalanya, juga wajahnya.

Takjub. Wajahmu masih saja menyiratkan senyum ikhlas, mengajak anaknya bercanda. Meski, kau tahu dan siapapun tahu, ia tak akan mengerti kata-katamu. Meski lunglai, engkau bahagia, ia masih sehat dan berisi. Meski, matanya nanar. Bergerak melenceng dari seharusnya. Tak pandai berkata-kata. Tak pandai menyungging senyum. Kau, tanpa lelah, menggendongnya, menurunkannya lalu menggendongnya kembali. Berfokus pada, ketika semua mata berpandang pada satu arah. Engkau, dengan cinta tiada batas, membelai putra kesayanganmu.

Rabb, muliakanlah, muliakan ia. Berilah ia surga sebelum surga. 

Kau tahu, air mata ini menganak karena mu. Ayah terbaik bagi anaknya. Sebab dirimu, aku semakin cinta kepadanya, ayahku nomor satu di dunia.

Rabb, muliakanlah, muliakan ia. Berilah ia surga sebelum surga. 

Mengingat kisah, menjalin makna
Ruang Kecil,
Menyemai hikmah tak bertepi