Senin, 25 Desember 2023

Pe-Ka-U

Dalam hitungan hari, tahun 2023 akan resmi ditutup. Tak berapa lama lagi, dunia akan ramai dengan sorak sorai menyambut tahun baru 2024. Berbagai kembang api menjadi andalan setiap negeri. Seakan-akan, ia merupakan prestasi apabila mampu menyajikan penampilan paling spektakuler. 

Buat ku sendiri, tahun 2023 merupakan tahun yang penuh kesan. Betapa tidak, tahun ini mirip seperti uji nyali ketangkasan dan kemawasan diri. Ibarat nahkoda, tahun ini menjadi pertarungan melawan ombak: akankah aku bertahan?

Qadarullah masya fa'al. Di antara ombak-ombak itu, ada lintasan-lintasan yang juga indah. Melanjutkan ilustrasi ombak lautan tadi, masa-masa tenang menikmati pagi dan senja di keheningan merupakan nikmat tiada tara. Masa-masa inilah yang ku sebut Pe-Ka-U.

Takdir tak pernah tahu, ternyata, seindah itu ya menuntut ilmu. Ilmu merupakan pelipur lara yang paling ajaib. Ia juga penuntas kelaparan dan kehausan diri yang dilalap kebodohan. Ada banyak keajaiban ketika merasakan proses itu. Kesulitan yang tiada tara. Hingga terkenang: "demikian hebatnya para pendahulu kita, mampu menekuri ilmu bertahun-tahun lamanya. Meski raga tak lagi hidup di dunia, namun karyanya tak pernah lekang melintasi zaman."

Pe-Ka-U menjadi ajang akselerasi segala informasi tentang Islam, pemikiran, tradisi salaf, tradisi Barat, problematika dakwah hingga tasawuf. Semuanya berpendar mencari-cari format terbaik dalam membentuk pemahaman. Atau setidaknya, ia menjadi pintu 'shorcut' dalam memahami realitas dunia kita saat ini. Misalnya, pertanyaan klasik tentang mengapa dunia Islam merana selama ini?

Pe-Ka-U menyajikan penjelajahan akademis yang menakjubkan. Selama ini, kita hanya menyantap sepotong informasi, itu pun telah terdiferensiasi. Sehingga, kepala ini sulit untuk mencerna dan mencari solusi. Sebab, satu kajian dengan kajian lainnya seakan tak memiliki narasi hubung satu sama lain.

Tapi kini, melalui Pe-Ka-U, aku bisa mengambil sebuah garis merah. Bahkan menemukan celah-celah kritik mengapa suatu gerakan belum lagi mendukung suatu kebangkitan. Apa yang diwariskan Imam Ghazali, Badi'uzzaman, Syed Naquib al-Attas hingga Syaikh Ahmad Yasin merupakan pendulum yang terhubung satu sama lain. Mereka menyampaikan hal yang kurang lebih serupa. Bagaimana kebangkitan dimulai dari duduk belajar di surau-surau lalu mengkaji ilmu secara mendalam.

Dari surau-surau inilah, puluhan tahun berikutnya lahir Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayubi. Surau-surau itu jua yang menjaga keimanan masyarakat Turki dalam ancaman sekularisme. Di Indonesia, surau-surau itu menjelma dalam bentuk pondok pesantren. Tak terbilang tokoh dan ulama besar lahir dan bertumbuh menyokong negara ini.

Begitu pula, Palestina yang kita lihat saat ini. Dari rahim ulama yang lumpuh, lahir pejuang-pejuang tangguh yang tinggi kedudukannya, puluhan tahun berikutnya. Jumlahnya memang sedikit, namun mampu merobek kepongahan musuh. Mereka cerdas, shalih dan membuat musuh gentar. Mereka menjadi simbol kebanggaan, simbol perjuangan dan simbol martabat diri di atas kepongahan peradaban yang anti agama ini!

Maka, dari sanalah, di dalam surau-surau kecil itu, mari kita bibit pejuang-pejuang li i'la kalimatiLlah. Puluhan tahun mendatang, pundak mereka akan menjadi perwakilan kita membangun kembali peradaban ini. Di atas tanah dan air, serta seluruh permukaan bumi!

Pertengahan Jumadil Akhir,
Mari kita berbenah