Rabu, 29 Oktober 2014

Rahman, Sa'idni ya Rahman

Akhir-akhir ini, saya terpaut dengan sebuah nasyid. Nasyid yang memiliki magnet tersendiri, ada gambaran cita di sana. Jika memaknai per liriknya, ku temui segamit doa. Doa, semoga Ia melembutkan hati-hati yang menyemai doa. Nasyid yang dibawakan oleh syekh mahsyur Mishary Rashid Alafasy ini berjudul "Rahman, ya Rahman". Berduet dengan gadis cilik, putri sang Presiden Chechnya. Berikut lirik dan videonya.

Selasa, 28 Oktober 2014

Andilau, antara Dilema dan Galau

Arbitrer. Menyuarakan sekehendak hati, itu sah-sah saja. Toh, ia hadir dari lisan kita sendiri. Tapi, ada kesepakatan-kesepakatan konvensional yang nyatanya harus ditemui di sepanjang jalan. Pada akhirnya, pertemuan ini akan menghasilkan konsesus. Manakah yang seharusnya menjadi bahasa diri?

Senin, 27 Oktober 2014

Bumbu Ikan

Kayaknya, kita lebih senang makan bumbu ikan yang enak daripada ikannya itu sendiri. (@backpackerinfo)
Pun, kita lebih sering mengeluh rasa bumbunya yang kurang enak dibanding ikannya itu sendiri (@sitiusbandiyah)

Bertumbuh

من الحبة تنشائ الشاجرة
"Bertumbuh dari sebuah biji, tumbuh dan berkembang menjadi pohon impian"
Waktu itu, laksana diburu oleh waktu, berpacu, bergerak cepat dan berharap segera menyelesaikan. Kemudian kecewa, tak jua bertemu garis akhir di tiap perbatasan. Yang ada, justru jeweran demi jeweran kepada diri yang keburu nafsu. Ah, malunya. Duhai Rabb, terima kasih atas segala perjalanan tarbiyah-Mu melalui sahabat surgawi ini.

Kamis, 16 Oktober 2014

Membersamaimu

"Tidak, aku pun cukup lama berproses membersamainya. Sulit mudahnya, titik-titik nadir kejemuan hingga perasaan yang tak mau berpisah. Aku membersamainya laksana grafik yang naik turun tak beraturan. Curam, signifikan dan tajam. Namun satu hal yang ku jaga sejak dulu, di balik keterbatasan kemampuan, aku punya satu cita. Terus membersamainya sesulit apapun itu. Hingga tanpa ku sadari, di bilangan waktu tertentu aku menemui kemudahan demi kemudahan. Bahwa semua itu berproses, termasuk membersamainya. Niscaya, di kemudian hari, engkau akan merasakannya. Laksana buliran huruf hanya diturunkan kepadamu, tepat di hadapanmu. Dia yang bersinggasana di 'arsy sana, membuka hatimu dan melapangkannya. Hingga tindak-tandukmu amat begitu dekat kepada-Nya. Hingga, engkau akan terus merasa terjaga. Hingga, hanya kebaikan yang akan terucap. Hanya kalimah-kalimah yang meninggikan-Nya, tanpa kita sadari. Nikmatilah, proses panjang membersamainya. Sulit mudahnya, menemui titik nadir kejemuan hingga bertemu perasaan yang tak mau berpisah."

Ku tatap ia lekat-lekat, jadilah sahabat surgawi ku, kini hingga kelak. Proses membersamaimu adalah proses seumur hidup yang tak lekang dibatasi waktu. Aku, ingin terus membersamaimu. Hingga kelak, kau menjadi pendar cahaya yang menerangi dan membawa kami turut serta dalam naungan yang tiada naungan selain Dia. Menjadi ahlullah, keluarga Allah. Menjadi bagian dari penjagaan al-Quran.

Ruangan kecil kini dipenuhi kesenduan,
di antara harap dan bait-bait doa.
Bersamamu, sebaik-baik pengharapan dan penghibur lara.

Kerikil

Terkadang, aku merindukan jalan yang demikian panjang dipenuhi kerikil tanpa kebisingan. Menyusuri jalan, menendang-nendang batu lalu mendongak ke langit biru. Mengapa pula ia biru? Padahal, panjang gelombangnya yang pendek, memaksa atmosfer memantulkannya kembali. Yang tak pernah melintasi atmosfer, justru tergambar di sepanjang langit dan batas pandang manusia.