Rabu, 19 November 2014

Tanpa Judul (random)

Aku menyebutnya ayah di lain tempat. Meski nyatanya, ia bukanlah siapa-siapa selain ikatan sebab iman. So? Mengapa ku panggil ia ayah? Entahlah, barangkali ia telah menyatu dengan watak dan wujud sifatnya. Dimana pun, ayah memiliki kesamaan tak bertabir waktu kapan atau saat.

Yang ku catat, wajahnya agak lain saat aku menyatakan satu keputusan 'agak penting', bagi diriku sendiri tentunya. Wajahnya sedikit tirus kelelahan sepertinya. Tidak seperti biasanya. Baru ku sadari, gerakku menemuinya itu tanpa sengaja hendak meminta maaf karena satu ulah menyebut namanya tanpa sebab. Ayoyo, sifat kekanak-kanakan keluar. Kadang, merasa terlampau polos dan mudah sekali dijaili oleh sosok ayah ini. Sering kali, saya jadi bahan kejahilannya. Bisa ya?

Arbitrer. Tanpa memandang konsesus yang ada. Terucap satu pernyataan di hadapan pihak lain, lalu tanpa sengaja mungkin terdengar oleh beliau. Mengakui, justru diberondong banyak tanya dan alasan. Hingga berujung: "air beriak macam aku ini, tanda tak dalam". Marilah kita sudahi hal ini. Beliau justru menahanku dengan tanya-tanya baru dan negoisasi yang "...". Yasudahlah, jangan sebut kalimat-kalimat itu. Terlampau berat bagiku. Entahlah, keputusan 'agak penting' ini juga bagian dari negoisasi saya padanya. Setelahnya, adalah qadarallah yang aku sendiri tak memetakan hasilnya seperti apa. Tapi, ia tetap bermuara yang sama: "aku akan tetap disana.."
"sebenarnya memang masih ada opsi lain, tapi.." 
"bisakah satu hal ini tetap jalan, tapi di sini pun tetap jalan, lalu hal lain pun jalan.." 
Lalu mengalir lagi petuah-petuah berat dari lisannya. Dengan ekspresi random bin absurd, saya tutup petuah-petuah itu dengan melarikan diri dari ruangannya. "sudah cukup, Pak.. terlalu berat.." :|

Tidak ada komentar:

Posting Komentar