Minggu, 16 Juni 2013

Sangat Abstrak

Mengapa dewasa ini, banyak para pemuda terjangkit penyakit hati bernama galau? Terlebih jika ia menjangkit para aktivis bernama kader dakwah. Para pengampu amanah yang beratnya demikian menghancurkan gunung sebagai pasak bumi. Mungkin pula meruntuhkan langit menghempas bumi kembali. Aih, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Banyak analisa, banyak hipotesa. Banyak sebab sehingga banyak akibat. Aih, demikian rumitnya. Sebenarnya, apa definisi kata galau tersebut? Bukankah ia mengindikasikan suasana hati tak menentu akan ketidakpastian? Sehingga kekhawatiran dan kecemasan melanda karena ketidakpastian itu tak dapat dipecahkan oleh akal kita yang tebatas. Ya, akal yang telah demikian canggihnya ini adalah anugerah Allah terbesar, karena ia adalah pencari kebenaran. Kebenaran yang sporadik, ada dimana pun, dapat tumbuh dan berkembang dalam situasi apapun namun abstrak. Di mana sesungguhnya ia? Pernahkah kita melihat spora sebelum berubah menjadi mushroom?


Kembali kepada bahasan akal. Meski demikian canggihnya, ada keterbatasan pada akal yang dianugerahkan kepada kepala kita. Terbatas untuk menerka kebenaran pada dua masa: masa lampau dan masa depan. Mengapa demikian? Siapakah yang tahu darimana kau berasal? Jika ada yang menjawab alam ruh, berarti telah ada informasi yang masuk kepala kita. Siapakah ilmuwan yang dapat membuktikan kebenarannya? Keterbatasan kedua, masa depan. Seperti apakah nasib kita pada dua atau lima tahun mendatang? Adakah yang tahu? Jangankan lima tahun, esok hari saja, segala sesuatu yang akan menimpa kita setelah perencanaan begitu matang kita tidak pernah tahu, bukan? Lalu mengapa kita demikian khawatir untuk lima tahun tetapi tidak pernah mengkhawatirkan satu hari esok? Bukankah bisa jadi esok kepastian hidup dan mati tetap sama 50:50 dengan lima tahun akan datang?

Ah, mungkin saya salah. Untuk apa mengkhawatirkan esok hari? Bukankah semua rencana telah matang untuk esok? Bahkan tiga-lima hari, beberapa pekan sekaligus? That’s the point! Kepastian rencana hidup. Apa yang hendak kita buat dalam hidup ini, dalam lima tahun mendatang, termasuk satu hari esok. Apa, apa, apa dan apa.

Ajaklah otak ini terus berpikir. Jangan tabzirkan ia untuk berlena hal-hal yang tidak pasti karena ia akan menganggur! Lalu, untuk apa ia diciptakan bila menganggur? Untuk apa Allah ciptakan tangan dan kaki jika ia menganggur? Bagaimana jika bumi, matahari di tata surya kita menganggur barang sedetik saja? Aih, seberapa dahsyatkah kehancuran itu? Bergerak dan terus bergerak dalam harmoni. Tak lebih dan tak kurang dari seharusnya.

Ah, kawan. Sudah kutemukan satu sebab kekhawatiran itu: menganggur. Ternyata, menganggur adalah sebab dari kekhawatiran, kemubaziran dan kehancuran suatu saat nanti. Teruslah bergerak, karena air yang tergenang justru menimbulkan penyakit. Bukan hanya bau tak sedap menghinggap, tapi ia suburkan telur-telur nyamuk meretas. Apakah tandanya? 

Dari contoh tersebut, saya pun dapat menggariskan sebab kedua: rencana. Semakin rapi dan sistematis rencana yang kita buat, maka semakin meminimalkan ketidakpastian yang mungkin terjadi. Jangan kau anggap mati adalah ketidakpastian, ia pasti, namun datangnya tidak ada yang tahu pasti. Di dunia yang serba tidak pasti ini, mari kita minimalkan ketidakpastian dengan rencana-rencana matang. Orang bilang visi misi, proposal hidup atau apalah namanya. Jika mujahid menjemput kematian dengan berlaga di medan perang, dan saudagar mendermakan sebagian besar hartanya serta sang alim mengajarkan ilmunya. Apa yang hendak kau tuai untuk meminimalkan ketidakpastian? Jika mati itu pasti, tapi kemanakah kita kembali, itulah ketidakpastian terbesar. Mereka meminimalkan ketidakpastian menuju kemungkinan besar pada tempat akhir yang baik. Bagaimana denganmu? Bagaimana dengan kita?

Hidup memang diliputi ketidakpastian. Itu sebabnya, meski seorang ibu yang sudah hafal penjuru dapur lengkap dengan catatan resepnya, tetap harus sering mengicip masakannya tahap demi tahap. Barangkali ada yang tertinggal sehingga rasanya tak karuan. Ibu itu berprinsip, meski dengan resep sama, bahan dan peralatan sama, tapi menghasilkan rasa yang tak sama saat berada ditangan berbeda? Pun dengan anak sekolah yang mencari contekan agar ia memiliki kemungkinan besar lulus. Padahal, tindakannya justru menimbulkan ketidakpastian baru: bagaimana jika sebaliknya? Aih, analogi apalagi ini?

Ternyata, kita perlu berhati-hati. Cek dan ricek sudah benarkah apa yang kita lakukan? Sudah pantaskah ia berlaku? Sebelum sayur asam dimasukan ke panci berbumbu, sudah matangkah jagung di dalamnya? Atau jangan-jangan kita memasukan semua yang akibatnya ada bahan yang belum matang? Jika menunggu jagung matang, terlampau masak bahan lainnya. Jika terlanjur, serba salah. Begitu pun kita, nikmati tahap-tahapnya. Maka kita akan sibuk memperbaiki diri, bukan mengutuknya agar sepadan dengan yang dianggapnya sempurna?

Sebentar, entah kenapa saya justru berpendapat, ternyata ada yang hilang di sini. Penyebab utama mengapa kita begitu khawatir? Maafkan saya, dengan pola pikir sedikit semrawut. Aih, dialah tujuan. Mengapa? Coba kita berpikir sejenak dari sejak awal saya menulis hal ini. Bagaimana kita tahu jika kita menganggur? Bukankah artinya kita memiliki kontribusi dan guna dalam hidup ini? Jika mata memiliki fungsi untuk melihat, telinga mendengar, kaki melangkah, hati merasa, jantung memompa, sel membelah dan kromosom penentu genetika. Lantas, apa fungsi seonggok tubuh yang tersusun oleh beragam organ yang luarbiasa tersebut? Tugas yang mahabiasa, bukan? Pastinya, sebuah tugas berat adalah fungsi kita, tujuan penciptaan manusia.

Mengapa mata tak pernah mengkhawatirkan penciptaannya? Ia tak pernah khawatir jika suatu saat nanti tak lagi berfungsi baik. Pun dengan lambung yang suatu saat nanti akan perih kepayahan karena laku tak adil tuannya. Namun ia tak pernah khawatir? Jawabnya, karena ia telah menjalankan fungsinya. Lalu, bagaimana dengan teori sebab kita tadi? Menganggur, tujuan serta cek dan ricek. Dan jika saya edit tulisan awal saya tadi, saya akan menuliskan beberapa list sebab-sebab. Kalau perlu sejuta sebab dengan seribu akibat. Karena akan terus ada pembaharuan-pembaharuan jika akal ini terus berjalan. Jika dari satu kepala saja sudah begini, bagaimana dengan jutaan kepala dengan akal luar biasa itu, kawan? Pasti sangat sangat sangat luar biasa! Nyatanya, tak semua demikian. Apa hal yang terjadi? Mengapa banyak yang terjerembab kekhawatiran?

Lama aku berpikir. Mungkin ia terlampau memikirkan dirinya sendiri. Karena jika ia sibuk memikirkan urusan umat, niscaya ia akan terlampau sibuk dan meminta tambahan waktu menjadi 25 jam. Duhai. Terbatasnya ruang dengan melimpahnya tugas. Kadang muncul gagasan yang lain. Barangkali ia tak pernah berpikir. Karena ia sedikit berpikir saja, barangkali tangan sudah menyelesaikan satu karya, pekerjaan terkurangi satu dan lain sebagainya. Apakah kesimpulan ini salah? Tidak sama sekali.
Akan tetapi, ada hal fundamental yang telah kita lewati. Kita, dengan akalnya yang luar biasa adalah pencari kebenaran sporadis. Apa itu kebenaran? Kata Rasul, ia adanya di sini. Di dada ini. Saat ia merasa lapang dengan apa yang kau perbuat, itulah kebenaran. Begitu pula sebaliknya. Akal itu ada di dalam kepala. Menilai, menimbang, mengukur serta mengintepertasikan apa yang dilihat, didengar serta diraba untuk dirasanya, apakah ia benar atau tidak. Apakah ia perlu diperbuat atau tidak. Dengan sebuah tolok ukur kebenaran, namanya iman.

Itu dia, ya, itu dia. Kata iman itulah yang menuntun akal ini berencana, benintepelasi, berkoordinasi dengan kesatuan organ. Lantas ia akan sepakat dengan hati untuk sesuatu. Karena iman, ia akan selalu sibuk tak menganggur. Karena dengan bantuan akal, ia akan tahu kebenaran yang diperbuatnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar