Mengapa dewasa ini, banyak para pemuda terjangkit penyakit
hati bernama galau? Terlebih jika ia menjangkit para aktivis bernama kader
dakwah. Para pengampu amanah yang beratnya demikian menghancurkan gunung
sebagai pasak bumi. Mungkin pula meruntuhkan langit menghempas bumi kembali.
Aih, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Banyak analisa, banyak hipotesa. Banyak sebab sehingga
banyak akibat. Aih, demikian rumitnya. Sebenarnya, apa definisi kata galau
tersebut? Bukankah ia mengindikasikan suasana hati tak menentu akan
ketidakpastian? Sehingga kekhawatiran dan kecemasan melanda karena
ketidakpastian itu tak dapat dipecahkan oleh akal kita yang tebatas. Ya, akal
yang telah demikian canggihnya ini adalah anugerah Allah terbesar, karena ia
adalah pencari kebenaran. Kebenaran yang sporadik, ada dimana pun, dapat tumbuh
dan berkembang dalam situasi apapun namun abstrak. Di mana sesungguhnya ia?
Pernahkah kita melihat spora sebelum berubah menjadi mushroom?
Kembali kepada bahasan akal. Meski demikian canggihnya, ada
keterbatasan pada akal yang dianugerahkan kepada kepala kita. Terbatas untuk
menerka kebenaran pada dua masa: masa lampau dan masa depan. Mengapa demikian?
Siapakah yang tahu darimana kau berasal? Jika ada yang menjawab alam ruh,
berarti telah ada informasi yang masuk kepala kita. Siapakah ilmuwan yang dapat
membuktikan kebenarannya? Keterbatasan kedua, masa depan. Seperti apakah nasib kita
pada dua atau lima tahun mendatang? Adakah yang tahu? Jangankan lima tahun,
esok hari saja, segala sesuatu yang akan menimpa kita setelah perencanaan
begitu matang kita tidak pernah tahu, bukan? Lalu mengapa kita demikian
khawatir untuk lima tahun tetapi tidak pernah mengkhawatirkan satu hari esok?
Bukankah bisa jadi esok kepastian hidup dan mati tetap sama 50:50 dengan lima
tahun akan datang?
Ah, mungkin saya salah. Untuk apa mengkhawatirkan esok hari?
Bukankah semua rencana telah matang untuk esok? Bahkan tiga-lima hari, beberapa
pekan sekaligus? That’s the point! Kepastian rencana hidup. Apa yang hendak
kita buat dalam hidup ini, dalam lima tahun mendatang, termasuk satu hari esok.
Apa, apa, apa dan apa.
Ajaklah otak ini terus berpikir. Jangan tabzirkan ia untuk
berlena hal-hal yang tidak pasti karena ia akan menganggur! Lalu, untuk apa ia
diciptakan bila menganggur? Untuk apa Allah ciptakan tangan dan kaki jika ia
menganggur? Bagaimana jika bumi, matahari di tata surya kita menganggur barang
sedetik saja? Aih, seberapa dahsyatkah kehancuran itu? Bergerak dan terus
bergerak dalam harmoni. Tak lebih dan tak kurang dari seharusnya.
Ah, kawan. Sudah kutemukan satu sebab kekhawatiran itu: menganggur. Ternyata, menganggur adalah
sebab dari kekhawatiran, kemubaziran dan kehancuran suatu saat nanti. Teruslah
bergerak, karena air yang tergenang justru menimbulkan penyakit. Bukan hanya
bau tak sedap menghinggap, tapi ia suburkan telur-telur nyamuk meretas. Apakah
tandanya?
Dari contoh tersebut, saya pun dapat menggariskan sebab
kedua: rencana. Semakin rapi dan
sistematis rencana yang kita buat, maka semakin meminimalkan ketidakpastian
yang mungkin terjadi. Jangan kau anggap mati adalah ketidakpastian, ia pasti,
namun datangnya tidak ada yang tahu pasti. Di dunia yang serba tidak pasti ini,
mari kita minimalkan ketidakpastian dengan rencana-rencana matang. Orang bilang
visi misi, proposal hidup atau apalah namanya. Jika mujahid menjemput kematian
dengan berlaga di medan perang, dan saudagar mendermakan sebagian besar
hartanya serta sang alim mengajarkan ilmunya. Apa yang hendak kau tuai untuk
meminimalkan ketidakpastian? Jika mati itu pasti, tapi kemanakah kita kembali,
itulah ketidakpastian terbesar. Mereka meminimalkan ketidakpastian menuju
kemungkinan besar pada tempat akhir yang baik. Bagaimana denganmu? Bagaimana
dengan kita?
Hidup memang diliputi ketidakpastian. Itu sebabnya, meski
seorang ibu yang sudah hafal penjuru dapur lengkap dengan catatan resepnya,
tetap harus sering mengicip masakannya tahap demi tahap. Barangkali ada yang
tertinggal sehingga rasanya tak karuan. Ibu itu berprinsip, meski dengan resep
sama, bahan dan peralatan sama, tapi menghasilkan rasa yang tak sama saat
berada ditangan berbeda? Pun dengan anak sekolah yang mencari contekan agar ia
memiliki kemungkinan besar lulus. Padahal, tindakannya justru menimbulkan
ketidakpastian baru: bagaimana jika sebaliknya? Aih, analogi apalagi ini?
Ternyata, kita perlu berhati-hati. Cek dan ricek sudah benarkah apa yang kita lakukan? Sudah pantaskah
ia berlaku? Sebelum sayur asam dimasukan ke panci berbumbu, sudah matangkah
jagung di dalamnya? Atau jangan-jangan kita memasukan semua yang akibatnya ada
bahan yang belum matang? Jika menunggu jagung matang, terlampau masak bahan
lainnya. Jika terlanjur, serba salah. Begitu pun kita, nikmati tahap-tahapnya.
Maka kita akan sibuk memperbaiki diri, bukan mengutuknya agar sepadan dengan
yang dianggapnya sempurna?
Sebentar, entah kenapa saya justru berpendapat, ternyata ada
yang hilang di sini. Penyebab utama mengapa kita begitu khawatir? Maafkan saya,
dengan pola pikir sedikit semrawut. Aih, dialah tujuan. Mengapa? Coba kita berpikir sejenak dari sejak awal saya
menulis hal ini. Bagaimana kita tahu jika kita menganggur? Bukankah artinya
kita memiliki kontribusi dan guna dalam hidup ini? Jika mata memiliki fungsi untuk melihat, telinga mendengar, kaki melangkah, hati merasa, jantung memompa, sel membelah dan kromosom penentu genetika. Lantas, apa fungsi seonggok tubuh yang tersusun oleh beragam organ yang luarbiasa tersebut? Tugas yang mahabiasa, bukan? Pastinya, sebuah
tugas berat adalah fungsi kita, tujuan
penciptaan manusia.
Mengapa mata tak pernah mengkhawatirkan penciptaannya? Ia
tak pernah khawatir jika suatu saat nanti tak lagi berfungsi baik. Pun dengan
lambung yang suatu saat nanti akan perih kepayahan karena laku tak adil tuannya.
Namun ia tak pernah khawatir? Jawabnya, karena ia telah menjalankan fungsinya.
Lalu, bagaimana dengan teori sebab kita tadi? Menganggur, tujuan serta cek dan
ricek. Dan jika saya edit tulisan awal saya tadi, saya akan menuliskan beberapa
list sebab-sebab. Kalau perlu sejuta sebab dengan seribu akibat. Karena akan
terus ada pembaharuan-pembaharuan jika akal ini terus berjalan. Jika dari satu kepala saja sudah begini, bagaimana dengan
jutaan kepala dengan akal luar biasa itu, kawan? Pasti sangat sangat sangat
luar biasa! Nyatanya, tak semua demikian. Apa hal yang terjadi? Mengapa banyak
yang terjerembab kekhawatiran?
Lama aku berpikir. Mungkin ia terlampau memikirkan dirinya
sendiri. Karena jika ia sibuk memikirkan urusan umat, niscaya ia akan terlampau
sibuk dan meminta tambahan waktu menjadi 25 jam. Duhai. Terbatasnya ruang
dengan melimpahnya tugas. Kadang muncul gagasan yang lain. Barangkali ia tak
pernah berpikir. Karena ia sedikit berpikir saja, barangkali tangan sudah
menyelesaikan satu karya, pekerjaan terkurangi satu dan lain sebagainya. Apakah
kesimpulan ini salah? Tidak sama sekali.
Akan tetapi, ada hal fundamental yang telah kita lewati.
Kita, dengan akalnya yang luar biasa adalah pencari kebenaran sporadis. Apa itu
kebenaran? Kata Rasul, ia adanya di sini. Di dada ini. Saat ia merasa lapang
dengan apa yang kau perbuat, itulah kebenaran. Begitu pula sebaliknya. Akal itu
ada di dalam kepala. Menilai, menimbang, mengukur serta mengintepertasikan apa
yang dilihat, didengar serta diraba untuk dirasanya, apakah ia benar atau
tidak. Apakah ia perlu diperbuat atau tidak. Dengan sebuah tolok ukur
kebenaran, namanya iman.
Itu dia, ya, itu dia. Kata iman itulah yang menuntun akal
ini berencana, benintepelasi, berkoordinasi dengan kesatuan organ. Lantas ia akan
sepakat dengan hati untuk sesuatu. Karena iman, ia akan selalu sibuk tak
menganggur. Karena dengan bantuan akal, ia akan tahu kebenaran yang
diperbuatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar