Selasa, 07 Mei 2013

Kata itu Bernama Sabar

Penat, tentu. Bagaimana tidak, pikiran saya dipenuhi hal yang sama dan sama-sama menguras energi. Teringat sebuah baris kalimat seorang ustadz, melalui sebuah buku yang dihadiahkan kepada saya. Baris sederhana namun mengambil sudut pandang yang berbeda, hingga apa yang otak ini maksud pun berbeda pula. Ah, betapa hebat orang-orang dengan cara pandang berbeda tersebut.

Rangkuman dari baris kalimat itu adalah kata sabar. Ia ibarat kita yang tengah mengayuh sepeda menaiki bukit. Apakah sabar memiliki batas? Sesungguhnya, sabar itu tiada memiliki batas. Namun, sunnatullah Allah memberikan sebuah batas untuk sebuah pekerjaan. Apa maksudnya? Menilik kisah tadi, Allah tetapkan kesabaran kita ada di atas bukit, kesabaran atas kesulitan mengayuh sepeda. Lantas, setelah itu, adalah kemudahan. Tanpa perlu mengayuh, kita dapat menuruni bukit dengan kecepatan cukup tinggi. Seketika, apapun duka sebelumnya akan hilang bersamaan kebahagiaan karena telah melewati puncak bukit tersebut. Kembali mengayuh menuju bukit-bukit selanjutnya, dengan bersemangat.

Sedang kita, seringkali menentukan batas sabar atas dirinya sendiri. Bagaimana bisa? Karena merasa tidak sanggup, kita jadikan tengah bukit sebagai batas kesabaran. Apa yang terjadi? Kita akan mundur, jatuh atau menggelinding menuruni bukit. Jauh lebih sakit dibanding kepayahan meniti bukit. Sebab itulah, pikiran buruk akan menghambat kita, apapun itu. Pekerjaankah, terlebih cita-cita.

Sabar, kembali bersabar. Mengapa? Karena tantangan kayuhan itu tidak hanya pada curamnya bukit. Ia adalah turunan bukit, belokan bukit yang teramat tajam. Bahkan bisa jadi ia adalah jalan kerikil yang lurus tanpa hambatan. Mempertahankan kayuhan tetap di jalan ini, jalanan yang sama pun adalah ujian kesabaran. Sampai kapan kita bersabar? Bagaimana jawabmu, sobat?

Sabar itu tidak akan henti sampai kita menemukan ujung jalan ini. Di manakah letaknya? Saya pun terdiam. Dia ada di sana, setelah melewati dunia kematian. Dia ada di sana, setelah melewati hari pasti pertanggungjawaban. Dia ada di sana, di tengah riuh lebat kebun-kebun yang menentramkan. Dia ada di sana, di sejuknya air-air mengalir tak memabukan. Ya, di ada di sana. Ujung jalan itu bernama pertemuan. Ia adalah pencapaian tertinggi seorang insan bernama manusia akan kesabaran-kesabarannya. Insan itu akan menangis, bahagia dan rasa tertinggi yang tak terdefinisikan hendak mengabarkan: "Oh, Rabbi.. Dengan nama-Mu aku menganggungkan-Mu untuk melewati kesabaran demi kesabaran itu. Rabbi.. "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar