Minggu, 25 Juni 2023

Kampung Nan Damai

Tanpa dinyana, sudah beberapa tahun saya tinggal di kampung ini. Orang menyebutnya Darussalam, kampung nan damai. Tidak ada yang menduga dan siapa sangka, saya akan menjadi bagian dari kampung itu, mengais ilmu-ilmu di usianya yang mulai merangkak senja. 

Saya tidak pernah menyatakan tempat itu yang terbaik, yang pernah ada. Layaknya Jogja, tempat itu selalu ngangeni, menarik sesiapun untuk kembali dari sesaknya hingar bingar dunia. Realitas yang tak pernah habis persoalan-persoalannya. 

Di kampung ini, waktu terasa seperti berhenti. Memberikan riuh-riuh kesegaran surga dan kedamaiannya. Laksana nama surga, kesejukkan dan kehangatannya terus memberkahi kami para penduduknya. Tidak ada yang perlu dicemaskan, tidak ada pula yang perlu dikhawatirkan. Persis seperti kata Allah, "laa khaufun 'alaihim wa laa hum yahzanuun..

Akankah hidupku berakhir di kampung ini? Saya rasa tidak juga. Pak Yai, pemimpin kampung ini yang amat kami hormati, selalu berpesan kepada kami. Mengajar hukumnya wajib bagi kami. Menjadi guru ngaji di tempat-tempat terpencil nan pelosok amat beliau sukai dibanding gelar-gelar mentereng atau jabatan-jabatan menyilaukan mata. Seakan-akan menegaskan kepada kami, "..fantasyiruu fi al-ardh, wabtaghu min fadhli-l-Llah.." Begitulah petuahnya, mengulangi petuah Rasul, dan apa yang diperintahkan Allah dalam kitab-Nya.

Bagaimana jika rindu? Menurutku, rindu itu pasti. Rindu itu pun akan terus membara. Seperti rinduku pada ranting-ranting muda ketika mengecap iman. Rinduku pada baris-baris ayat yang baru dihafal, diantara jama'ah muda yang mengharapkan kemuliaan. Termasuk rindu pada tempat ini, kampung nan damai, di mana kehidupan dibentangkan seluas-luasnya untuk dipelajari, ditafakuri dan ditadabburi. Namun tetap pada ingatan, untuk dibawa pulang.

Lalu, kemana kah setelah ini? Allahu a'lam. Dialah yang Maha Tahu, kemana lagi kaki ini akan diajak melangkah. Kemana lagi bumi akan dilipatkan-Nya untuk diseberangi. Sebab, masa depan adalah satu diantara tiga kegelapan yang tidak dapat disingkap oleh penginderaan manusia. Laksana Nabi Yunus di dalam kegelapan malam, kegelapan lautan dalam dan kegelapan perut ikan, terhadap tiga kegelapan ini, kita perlu untuk terus beristighfar. "Laa ilaha illa anta, subhaanaka innii kuntu minazh-zhaalimiin.." Begitulah petuah Badi'uzzaman dalam Al-Lama'at nya. 

Yang jelas, layaknya misykat al-anwar milik Imam Ghazali, kampung ini telah menjadi cahaya di antara celah-celah sumbu lampu berminyak. Ia berpendar di dalam lampu kaca. Laksana cahaya di atas cahaya, yang mana terangnya tak menyilaukan dan tidak pula membuat mata terpejam. Ia begitu pas, tidak kurang dan lebih. Meramu sekian banyak kebaikan sehingga mampu melahirkan para pejuang. Pejuang li-i'la kalimati-Llaah.

Para pejuang ini adalah generasi-generasi yang tak takut mati. Sebab, hidup itu sekali, hiduplah yang berarti. Berani hidup tak takut mati. Takut mati, jangan hidup. Takut mati, mati saja. Begitulah persisnya, bagaimana Kyai Hasan berpesan berulang kali.

Di antara berbagai tugas itu, kami dijejali dengan materi-materi khas Barat dan khas Islam sekaligus. Orientasinya adalah agar kami bisa membangun iman tidak hanya secara ritual, namun juga beriman secara intelektual. Mengenali musuh, kata Prof. Hamid Fahmy, merupakan langkah paling tepat menjadi murabbithun di zaman ini. Dengan demikian, kami dididik untuk menjadi ulama  menjadi ulama yang ilmuwan, bukan ilmuwan yang tahu agama. Begitulah persis, mengapa pondok ini kemudian berdiri mengawali. 

Dari beliau pula, saya mencatatkan sesuatu: "kemudahan itu diciptakan Allah sebagai jalan takdir bagi manusia." Maka, jalan-jalan yang tampak sukar itu tampak sebagai kemudahan-kemudahan yang Allah bentangkan untukku menuju tempat ini. Kampung ini telah menjadi bagian dari takdir kehidupan yang saya jalani. Maka seyogyanya, takdir itu patut membahagiakan dan harus disyukuri agar bisa mengantungi banyak keberuntungan. Sebab, di lain waktu Pak Yai berpesan, "sebesar itu keinsafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu." Pesan ini tak lain, pengejawantahan firman Allah, "wanman yu'tal hikmata faqad uutiya khairan katsira."

Hikmah-hikmah ini ketika dikumpulkan menjadi mutiara-mutiara tak ternilai harganya. Dan semoga menjadi bekal yang cukup untuk membangun darah-darah biru di keluarga kami masing-masing. 

Begitulah, kehidupan kami di kampung nan damai. Ketika ditinggal sebentar saja, rasanya yang lalu-lalu itu terlalu berharga untuk dikenang sendirian. Sehingga di bulir-bulir ini, saya berkisah. Semoga, bulir-bulir itu bisa menjadi sesuatu yang lebih mudah dikenang dan berguna bagi saudara-saudari yang mungkin memiliki mimpi yang sama.

Semoga, akan selalu ada kesempatan-kesempatan kecil untuk kembali ke kampung ini. Layaknya tangga, semoga pertemuan-pertemuan itu memberikan perwajahan yang progessif. Karena selalu diliputi kebaikan yang terus bertambah, dan bukan sebaliknya.

***

Di ruang udara ini, ku titipkan salam untukmu

Semoga kelak kita 'kan bertemu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar