Di depan sebuah ceruk tanah berisi air, aku menerka-nerka raut wajah yang terpantul di sana. Seperti apakah raut wajahku kini? Adakah ia berubah sejak bermula, menjadi lebih baik dan terkumpul kebaikan di dalamnya. Ataukah identitas yang lalu itu menghilang, menguap dalam bayang-bayang khayal yang fana.
Bulu kudukku merinding, mengingat rangkaian
perjalanan waktu demi waktu yang telah lalu. Seandainya kelak, aku benar-benar
melihatnya, putaran film yang menayangkan diriku seutuhnya. Sejak ia menghirup
udara dunia yang sesak ini, sampai berhentinya masa hidup tanpa sempat
mengucapkan selamat tinggal.
Oh, dunia. Mungkin, dahulu aku pernah memiliki
banyak pengetahuan tentang mu dan tentang Dia. Namun, menjajali hidup di ruang
waktu mu ternyata menyadarkan satu hal: "Hidup bagiku seperti ujian
praktek yang berkali-kali keliru. Barangkali hari ini aku benar, esoknya aku
keliru lagi. Selalu saja begitu."
Oh, dunia. Menjajali hidup di ruang waktu mu,
membuatku merasakan banyak hal. Kadang ia merasa bahagia, sering pula terluka.
Kadang ia menyimpan rasa yang kuat, namun tak mampu tersampaikan. Kadang pula,
ia merasakan keindahan rasa yang agung, betapa lapangnya ketika semua asa ku
pasrahkan semua. Rasa itu tak pernah terwujud dalam bentuk apapu, namun
realitasnya begitu terasa. Agaknya ia mempengaruhi mimik wajah dan detak
jantung ini. Yang kadang membuatnya tiba-tiba bergejolak atau berdegup kencang.
Oh, dunia. Aku punya satu asa, meskipun ia
kadang samar-sama oleh lupa. Kadang, ia terlena
karena gerak yang demikian lambatnya. Garis finish bagi mereka adalah permulaan
bagiku. Jarak tak seberapa menjadi demikian jauh bagiku. Diperparah oleh keringkihan
dan kelemahan diri yang kadang tak terduga.
Oh, dunia. Jadilah dirimu
persinggahan yang begitu memenatkan hati. Namun harapku, engkau menjadi saksi
yang kelak meringankan hati.
Ruang peradaban
Di Kampung
nan damai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar