Bisa dibilang, perilaku ini disebut dengan kekhawatiran terhadap sesuatu yang bahkan belum terjadi apalagi menimpa kita. Semuanya dalam cara pandang orang ketiga. Dalihnya, sebagai upaya preventif agar kehidupan yang dijalani jauh lebih baik. Bukan begitu?
Lalu, sejak malam hingga pagi ini, salah satu grup yang ku ikuti ramai membicarakan soal perempuan dan ancaman kekhawatiran yang melingkupinya. Soal ancaman double burden yang dialami ibu. Ia punya tanggung jawab domestik yang tidak sedikit, namun perlu juga mengaktualisasi dirinya di luar rumah.
Simpelnya: urusan pekerjaan versus domestik (pekerjaan rumah, anak, pendidikan, de el el). Sanggupkah ibu memikul semuanya sendirian? Bagaimana dengan ayah?
Diskusi ini bermula saat seorang kawan kami membawakan materi bertajuk ibu sebagai "madrosatul 'ula". Lalu, seorang kawan lain membawa persoalan yang ada dalam kehidupan sehaei-hari.
Sehingga timbul tanya, bagaimana ibu bisa menjadi madrasah pertama apabila ia memikul banyak beban di pundaknya? Apakah solusi Islam tampak idealis namun juga utopis? Mengutip guyonan mentor kami selama PKU, "Jangan kaya Teh Botol Sosro. Apapun masalahnya, Khilafah Islamiyah solusinya." Lalu, ramailah grup tersebut dengan berbagai tawaran ide.
Ada yang tidak sepakat pada penggunaan term 'burden'. Apakah posisi perempuan di keluarga disebut sebagai beban? Beban sebagai istri maupun ibu?
Ada yang mengkaitkannya pada fenomena fatherless yang melanda negeri ini. Saking fenomenalnya, perempuan juga harus mengerjakan kewajiban suami sekaligus ayah: mencari nafkah, mendidik anak dan mengurusi domestik.
Tidak sampai di sini. Ada pula yang berpandangan bahwa sebenarnya feminis itu perlu di Indonesia. Karena mereka memberikan tanggapan yang lebih rasional dan aplikatif dalam menghadapi kasus KDRT misalnya.
Feminis lokal dianggap "berbeda" dibanding ibu kandungnya di Eropa sana. Sebab, katanya lagi, feminis lokal tidak menyerang relasi pria dan wanita. Namun, lebih pada mengupayakan pada pemberdayaan wanita, notabene selaras pada fungsi Islam.
Setelah banyak hal didiskusikan, pastilah jua kita ingin mendapat hasil akhir yang memuaskan. Apa solusinya?
Wah, ini kudu dibedah satu per satu dalam tulisan berikutnya. Bagaimana sebenarnya Islam, khususnya Al-Quran, memandang semua hal yang terjadi dan nyata di kehidupan kita?
Sebelum menutup tulisan, saya ingin mengutip ungkapan Ustadz Andriano Rusli yang mungkin sesuai. Bahwa semua kekacauan berpikir ini --kita perlu sepakat soal ini-- adalah sebab tidak adanya Kurikulum Keluarga. Kurikulum ini merupakan buah dari keimanan yang seringkali tidak disadari, bukan tidak dipahami, oleh orang yang sudah berpengetahuan sekalipun.
Jadi, perlukah kita bahas satu per satu di tulisan berikutnya?