Dari Ibn 'Umar berkata, Rasulullah Saw. memegang pundakku lalu berkata: "Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang melintasi jalan (safar)." Lalu Ibn Umar ra berkata, "Jika engkau berada di waktu pagi, maka jangan tunggu sore. Jika engkau di sore hari, maka jangan tunggu pagi. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu dan waktu hidupmu sebelum matimu." (HR. Bukhari)
Dalam masa-masa jeda, ada kalanya syair menjadi pengingat. Buatku, setiap syair memiliki penanda. Laksana tulisan ini, meskipun kata-katanya sederhana, ia adalah penanda sebuah kejadian, peristiwa penting dalam hidup, yang sangat mungkin hanya aku yang tahu.
Meskipun bukan pengagum nyanyian, aku memiliki satu dua bahkan beberapa nasyid yang menjadi penanda. Tidak banyak memang, namun demikian adanya, lirik nasyid itu menjadi penanda penting salah satu bagian dalam hidup bagiku. Sebuah syair, sebuah penanda. Ia pun baru didengarkan kembali ketika masa-masa jeda, masa-masa di mana kesunyian dibutuhkan. Masa di mana, ingatan akan penanda itu kembali dimunculkan. Agar langkah yang mulai lelah ini mengingat, jiwa yang merana itu pun mengingat, serta pandangan yang kabur mulai melihat, apa-apa yang telah jiwa ini tetapkan di masa lalu, masa di mana jiwa mengalami puncak manisnya kebersamaan dengan Rabb-Nya.
Hidup bagiku laksana menyeberangi gelombang laut yang terus berkejaran. Adakalanya ia mendapat ketenangan, namun tidak jarang pula badai tiba-tiba datang menyapa meskipun engkau berada di tengah lautan. Jika engkau selamat, sampailah engkau di tujuan. Jika pun tidak, semoga gugur mu tetap dalam kebaikan. Namun, mempertahankan kapal agar sampai ke tujuan adalah satu hal, dan menjaga diri agar tetap di jalan kebaikan adalah hal lain.
Adakalanya, jiwa
ini diselimuti misi mulia nan hakiki, namun karena tingginya misi itu, ia bisa
abai terhadap hal-hal yang dianggapnya kecil. Lamat-lamat, ia menjadikan
ketinggian citanya sebagai akhir dari sebuah pencapaian. Ia pula abai pada
penjagaan hal-hal detail yang fungsinya menguatkan. Bukankah kapal nan kokoh akhirnya
tenggelam juga jika ia abai pada lubang kecil akibat gigitan makhluk Allah yang
kecil?
Adakalanya pula,
jiwa yang diselimuti misi kebaikan itu tiba-tiba goyah dalam gempuran badai yang
datang bersamaan. Langit yang kelabu, laut yang bergejolak, angin yang
menghempas, hingga ikan-ikan besar yang ikut menyerang. Saling sahut menyahut bak kondisi tak
terelakkan. Apatah lagi memikirkan ketinggian cita-cita yang lalu, bisa
bertahan hidup saja, engkau sudah penuh syukur.
“Telah datang menjelang, telah datang.. jangan tunggu pagi.. Jadilah di dunia bagai orang asing atau pengembara yang tidak lama..”
Syair milik
munsyid kenamaan itu bermula. Mengantarkan ku kepada sebongkah ingatan di masa
itu. Aku pun termenung. Otakku berusaha menyusun kembali puzzle ingatannya
sedikit demi sedikit, menjadi sebuah gambaran yang utuh.
Tidak jarang,
jiwaku bergetar, mataku sembab dan menerawang. Ia seakan tengah bertanya pada
dirinya sendiri:
“Apa yang tengah melanda
padamu, wahai diriku? Mari ku gamit tangamu, akan ku ajak engkau pada kesadaran-kesadaran masa lampau. Akan ku ajak engkau pada
bentangan masa, di mana biru adalah latarnya. Kedamaian di antara pepohonan
yang rindang, diiringi deburan angin menyejukkan. Lihatlah di sana, langit penuh bintang berkilauan. Bukankah engkau selalu mendongakkan wajahmu kesana? Menitip cita,
menjadi bagian dari mereka meskipun tak tampak?
Mari, mari ku ajak
engkau mengunjungi sebuah danau yang tenang. Danau yang dalam dan menjadi favoritmu di
masa itu. Lihatlah, kejernihannya mampu merefleksikan wajahmu sejelas-jelasnya.
Rasa airnya pun tawar nan menyegarkan. Engkau ingin mencobanya kembali? Ia tawar bukan sebab tak
pernah digarami. Tak pernah pula ia hendak mengadu dengan laut yang asin itu.
Namun, kelapangannya telah ajaib menyimpan berbagai rasa menjadi jernih yang menyegarkan. Lihat pula cahaya putih itu! Cahaya lembut yang tidak menyilaukan.
Bukankah ia pun menyimpan banyak warna di dalam dirinya?”
Ia kemudian
mendudukkan ku di tepi danau itu sembari menyambung cerita. “Kau ingat wahai
diriku, pada sepasang gerbang besar di hadapanmu? Masih ingatkah engkau dengan
ukiran di setiap bagiannya? Ketika ia terbuka sedikit, semilir angin sejuk
menyapa wajahmu lebih dulu. Ketika ia terbuka sedikit demi sedikit, sebuah pemandangan
maha indah ternyata meluruhkan seluruh rasa dalam diri engkau sepenuhnya. Langkahmu ringan sekali. Matamu elok berkilau, menyiratkan kebahagiaan yang begitu indah.”
Syair itu terus
mengalun berulang. Ingatan demi ingatan mulai terkumpul padu.
“Berbekal lah yang banyak untuk segera pulang, bertemu dengan Allah di alam sana. Hidup bagai mimpi, hampir tak terasa, hadir di hadapan hidup yang abadi.”
Ia menatapku, menelusup jauh ke dalam. Ku balas tatapannya, haru. Kedua tanganku digenggamnya selama beberapa saat. Kemudian ia berpindah posisi, menyapu pandang danau itu kembali sembari berkata: “Kau tahu, bukankah kita sedang dalam perjalanan pulang? Kelak, peristiwa demi peristiwa ini akan menjadi kenangan. Kelak, engkau akan mengingat setiap detiknya berulang-ulang di masa yang panjang. Ingatanmu penuh syukur dan juga kesadaran. Masa kita ini hanya laksana jentikan jari, singkat sekali. Tapi lihat, lagak kita sudah hebat bak pemain sinetron kenamaan.”
Kami bersitatap, simpul
senyum menghiasi wajahnya, tanda perpisahan. “Selamat berlayar kembali.”
***
Menghitung hari sebelum hijrah,
Syawal di perempat akhir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar