Kamis, 25 Juli 2013

Coret Oret Macet #1

Ternyata, sudah cukup lama saya nyaman dengan Commuter Line milik PT KAI. Alhamdulillah, dengan pelayanan yang telah diupgrade, jarak yang jauh dapat saya tempuh dengan waktu singkat dan murah. Tak berlebihan jika saya katakan, "kereta adalah solusi transportasi ibukota yang semakin sibuk."

Suatu kali, mau tak mau saya harus naik Transjakarta. Tak ada niat untuk membandingkan. Tapi, untuk saat ini saya akan berpikir dua kali menaiki bus ini dibandingkan kereta. Karena jelas, kereta lebih cepat dan lebih murah, plus lebih nyaman. Kalau toh penuh sesak, bukankah bus TJ pun sama?



Sebenarnya, bukan hal ini yang ingin saya bahas. Pada kali saya naik bus TJ, mungkin saya sudah lupa bagaimana rasanya terjebak macet di ibukota. Apalagi berada di dalam kendaraan di atas stagnan tanpa gerak sama sekali. Tidak merasakan "the real Jakarta" dengan kemacetannya. Karena pulang pergi, saya memanfaatkan akses kereta.

Pada kali itu juga, sekian jam saya ada di jalanan kembali. Bukan, bukan salah busnya. Selama ini, mereka masih taat meski ada saja yang melanggar. Kemacetan menjadikan semua orang jadi korban, baik itu korban waktu, korban pekerjaan, korban tenaga dan korban lainnya. Herannya, macet tak lagi dapat ditudingkan oleh seorang dua orang pihak yang musti bertanggungjawab. Tahu kenapa? Karena para korban-korban inilah yang sebenarnya tersangka utamanya! Loh, kok bisa?

Kemacetan parah selalu terjadi di ibukota, pun di sepanjang Jl. Hasyim Asyari, Jakarta Barat-Jakarta Pusat. Di kawasan sibuk penghubung barat dan sentral Jakarta ini akan selalu macet di jam-jam rutinnya. Kala pagi waktu bekerja, tengah hari dan menjelang berbuka. Di sepanjang jalan ini banyak perempatan disertai lampu lalu lintas yang masih menyala, tapi nampaknya ia tak begitu berfungsi.

Mengapa? Saya pun tak begitu tahu pasti. Sepertinya, orang-orang begitu terburu-buru hingga tak sempat berhenti beberapa detik atau menit menunggu. Menunggu orang yang sama-sama sibuk untuk melintas. Yah, sekedar menunggu sambil meregang otot-otot yang menegang karena kesusu'.

Saya pun tidak begitu pasti. Sepertinya, orang-orang begitu bersemangat berlomba. Hingga detik-detik pergantian lampu menyala dijadikan ajang kompetisi di jalan raya. Merah belum berubah, ia mendesak maju. Hijau hendak berubah merah, ia tak mau mengalah. Tak ada kata mundur di ring ini, atau kau menjadi orang pecundang! Dan, sepertinya, ia tampak pada setiap simpangan. Carut marut, bagaimana tidak?

Dalam kondisi ini, tetap ada orang-orang yang hendak mengalah. Mereka, beberapa orang di antara ratusan bahkan mungkin ribuan orang. Akan tetapi, mereka kalah oleh desing terompet yang tak jua henti. Atau hardikan yang mendesak nyali. Alhasil, mereka kalah di persaingan tak adil ini.

Jika hal ini adalah kompetisi, maka applause panjang tiada henti akan aku tujukan pada seorang dua orang saja. Siapakah dia? Dia, ya dia, yang rela turun untuk mengatur semuanya saat petugas seragam datang. Dia yang sering berbaju merah, bertugas di luar tugasnya di dalam bus Transjakarta. Karena engkaulah pemenangnya!

Di antara deru laju tak bergerak, desing suara tak jua henti dan kepulan asap menerpamu. Di antara gengsi dan kewajiban, kau hadir dengan kesadaran. Inilah bakti sesungguhnya. Rasa cinta pada negeri dan penghuninya, cinta yang menyelamatkan dan mengajarkan kesadaran. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar