Rabu, 24 Juli 2013

Inikah Harmoni?

Di antara arus pemikiran, ragam kritik dan keikhlasan itu bertemu
Ia beradu, adakah keduanya bertemu?
Ataukah sekat-sekat itu terus bertahan, meski Allah telah membuktikan?


Di sebuah perkumpulan, dimana kami harus berniat tunggal: "menjadikan manfaat diri di setiap celah waktunya." Kami bertemu, belajar bersama, berinteraksi dan bertugas bersama. Ragam pasti menemui kami, dengan latar, sejarah dan bidang yang berbeda, tak lantas membuat kami terpecah. Akan tetapi, suatu saat pesimis itu muncul. Akankah?
Seorang ibu yang baik pastinya sigap memadupadankan beragam bumbu di dapur. Bagaimana ia menakar lada-lengkuas-kunyit-ketumbar-jahe-gula dan garamnya agar padu padan itu menghasilkan cita rasa yang mantap. Meski, lada itu pedas namun berbeda dengan pedasnya jahe. Gula itu manis, lain halnya ketumbar. Tapi ia bertemu dalam satu peraduan wajan, mengikat diri satu sama lain demi satu cita rasa bernama 'enak'. Betapa puas wajah anak dan suaminya. Betapa bahagianya, ia.

Akan tetapi, rasanya, tak semua bahan itu tercampur. Melebur demi satu rasa. Ada yang tetap bertahan dengan rasa khasnya. Dan karena itu pula, mengapa masakan itu dapat dikatakan enak. Bagaimana jika sayuran, daging dan bahan makanan yang dimasak hilang rasanya? Ada pengaruh yang mempengaruhi dan dipengaruhi. Ada yang menjelaskan dan mendengar. Ada yang bertindak juga berpikir. Pun ada yang diam menyimak. Mungkin beginilah harmoni.

Agak rancu, ya. Saya bercerita tentang komunitas tapi menyerempet ke makanan. Tapi, memang ada benarnya. Saat pesimis itu, ada seorang dari kami mengirimkan sms kepadaku.

"Biarlah yang besar itu karyamu, bukan dirimu.
Biarlah yang tinggi itu pretasimu, bukan hatimu.
Luruskan niatmu. Recharge your DNA.
Mentari itu masih terlihat."

Oh, yes! Niat, kemanakah niat mula dan akhirmu dilabuhkan? Senyap tiba-tiba datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar