Senin, 30 Juni 2014

Merindu Wajah Itu

Ramadhan hari ke-2!

Selamat datang Ramadhan, hari yang dinanti oleh jiwa yang merindu. Apalagi kalau bukan kerinduan pada masa dimana orang-orang menjadi kembali putih sediakala. Dimana lapar dan dahaga menjadi aktivitas yang mengasyikan. Semua orang berlomba-lomba mengulurkan tangan memberi sedekah. Menjaring beragam amal shaleh yang lama tak dilakukan sepanjang 11 bulan yang lalu.


Ah, Ramadhan. Aku rindu wajah-wajah sendu yang menanggung beban kerinduan. Bukan hanya padamu, tapi pada Ia yang Maha Perindu. Aku rindu wajah-wajah itu. Dulu, ku temukan ia pada binar wajah pemudi dan pemuda di suatu tempat. Dulu, ku dapati ia pada hari-hari selain Ramadhan. Dulu, ya, dulu, aku pernah menemuinya.

Wajah-wajah yang seringkali tergurat lelah karena seharian beraktivitas. Tapi binar wajahnya selalu ceria mendapati malam untuk kami melingkar bersama. Bertepuk ria menghafal nama-nama surah, lalu berlanjut pada mushaf kesayangan. Mengkaji, membaca, mentadabburi, mengulang maupun mempraktekan hukum tajwid sambil memonyongkan bibir. Sesekali kami tertawa, lucu nian melihat ekspresi kami melafalkannya di hadapan cermin. Duhai Allah, aku merindu masa itu.

Raut lelah karena kurang tidur menjangkiti wajah-wajah itu. Namun binarnya, masih saja menyeruakan semangat untuk tegak dalam rapat barisan sajadah. Bergilir menjadi imam untuk mengulang sebagian ingatan. Apalagi untuk orang-orang khusus dengan suaranya yang merdu dan ingatannya yang panjang. Menjadi cita kami bersama, menjaga ingatan-ingatan itu sepanjang hayat di badan.

Beragam latar, beragam pemikiran. Menuangkan atraksi wajah dengan perubahan mimik yang berbeda-beda, menyisipkan kenangan yang tak mampu dilupa. Bila suatu masa kami berjumpa, satu tanya tak akan terlewat menyapa wajah yang pernah seatap. Menanyakan kabar cita yang sempat tertunda. Bagaimana hafalan Quranmu? Ah, remuk redam rasanya. Tanpa tanya pun, melihat salah seorangnya, sudah mengingatkanku padamu, sahabat surgawiku.

Seringkali kami berselisih paham. Sekali membuat aturan, beberapa kali ia pun dilanggar. Sebagian kesal mendengus, sebagian lagi pusing membuat aturan-aturan baru. Mas'ulah berganti, aturan pun berganti. Menjadi sunnatullah hidup dalam kebersamaan, pertengkaran-pertengkaran kecil mengharuskan kami untuk saling belajar memahami hak dan kewajiban. Bahwa setinggi apapun cita yang telah kami gariskan, kami adalah manusia yang berkolaborasi antara sifat baik dan buruk dalam satu kesatuan. Tapi itulah indahnya, mengingatinya membuat mata kami berkaca-kaca. Adakah masa itu boleh diulang?

Aneh memang. Hari-hari kami tak pernah sepi dari aktivitas. Namun masih saja sempat menuntaskan target sekian juz tilawah. Belum lagi target yang harus disetor ketika malam tiba. Yang tak pernah terlupa, pada wajah-wajah kantuk melafalkan satu juz bersama setiap paginya. Ada saja yang tak sengaja tertidur di tengah-tengahnya. Bersandar di dinding, ketika sadar sudah tamat hingga belakang. Namun, ada pula masanya, bergelora penuh kami melafal ayat-ayat penuh cinta itu. Tak sedikitpun mata terpicing melihat pembaringan.

Ramadhan, aku merindumu dan merindu wajah-wajah itu. Merindu pada bait-bait yang indahnya melebihi gurindam dimana pun. Merindu wajah-wajah itu kini pada arak-arak manusia di perjalanan. Namun sayang, belum juga menemui wajah itu kembali.

Ramadhan, aku begitu merindumu hingga takut menyelimuti sekujur tubuhku. Aku rindu pada hawa sejuk melayangkan segala cita menuju langit-Nya. Bersenandung zikir dalam irama syahdu penuh penghayatan. Dalam pembicaran dan diskusi yang sarat ilmu untuk kembali pada-Mu.

Namun sayang, hawaku kini tak sesejuk waktu itu. Ia terasa hangat dalam jubah bernama 'tak ada apa-apa'. Ketika kabar tersiar, seorang sahabat menemuimu di sebuah tempat menimba ilmu. Ingin aku meratap, bergegas berkemas menyusul kemana ia pergi. Meski, nun jauh disana.

Ramadhan, aku merindumu dan merindu wajah-wajah itu. Maafkan aku, tak menjadi sebaik-baik penerima tamu agung yang membawakan banyak bekal. Izinkan kami, menjadi sahabatmu di masa kini dan masa setelahmu.

Riuhan dalam kesunyian menerpa,
adakah aku dapat menemuinya?
Semoga, suatu saat
dan segera.

Ruangan kecil kembali ku bercerita,
Jakarta, Ramadhan hari kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar