Senin, 22 September 2014

Pertalian yang Rumit

Ada sebuah pertalian yang amat rumit. Ia terkoneksi, namun seringkali harus mendapati diam satu sama lain. Aku tak mengerti, apa memang demikian fitrahnya. Pertalian itu, seringkali mendapati getaran-getaran yang tak mampu diakomodasi oleh kata apapun. Bagi sebagian orang, termasuk aku. Terkenang wajahnya, keras pundaknya, legam badannya dan keras wataknya. Bening matanya yang syahdu, lamat-lamat sayu. Badannya yang dulu gagah, lamat-lamat terkikis dimakan waktu. Entah kapan pertama kali, engkau benar-benar tertawa. Bukan karena tak punya stok bahagia. Sebab baginya, pundak yang mengeras menanggung beban adalah kebahagiaan bersamaan tanggung jawab yang besar.

Pertalian itu amat rumit. Serumit jalan berliku yang tak kau temui ujungnya. Kadang, ada prasangka yang terkibas. Jika suatu saat nanti, fitrahnya pertemuan dan kebersamaan akan bertemu dengan pasangannya: perpisahan dan tiada bersama lagi. Ku kenang lagi wajahnya. Gurat-gurat kehidupan yang keras, ketangguhan melawan diri sendiri. Kau, dengan semua keberanianmu menantang matahari setiap teriknya. Menantang fajar bahkan sebelum ia terbit. Kau, dengan semua keberanianmu.

Aku tak begitu tahu, kalimat apa yang tersusun di hati dan pikiranmu. Bagaimana kau mampu melawan ego dan kemalasan demi satu asa: keluarga. Telingamu demikian kebal dengan suara-suara bising tak jua henti. Kau tahu, hanya Dia yang tahu seberapa keras perjuanganmu.

Terkenang olehku, masa-masa lalu. Si anak kecil yang merepotkan. Menangis setiap hari. Kadang-kadang membuat khawatir karena tidak tumbuh seperti yang lain. Jangan-jangan ia kekurangan nutrisi, kau bertambah giat. Tapi, tak nampak jua berbeda ketika ia dewasa. Beda selalu menjadi miliknya. Ia tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda. Hampir-hampir kecemasan itu melanda kita bersama. Tapi, rupanya ia tak selamanya salah. Menjadi beda, kadang justru dirindukan. Meski didahului oleh pertarungan yang keras.

Ada gurat aneh di wajahmu kala mendengarkan aku tilawah, mengingat-ingat sebagian darinya. Ada gurat yang masih misteri. Hampir-hampir ia membentuk senyum meski tak nampak. Getaran itu bersambung padaku, kau bertitah demikian panjang, meski dalam diam. Namun ia, teramat berat bagiku, tanpa seorang pun tahu.

Teringat olehku, wajah tegar tanpa sendu itu tiba-tiba haru. Wanita yang kau pilih dalam hidupmu tengah menangis, menyalami orang-orang hendak pergi jauh. Aku pun menangis, bukan karenanya. Aku menangis, melihatmu menangis tiada tara. Engkau dan ia akhirnya dipanggil oleh-Nya, tanpa disangka, tanpa diduga. Dan tanpa kita ketahui, ada yang melembut diantara bilik-bilik hati yang mengeras. Hampir-hampir kita lupa, apa yang terjadi. Hanya satu yang terus kita ingat, selalu berkelimpahan hikmah atas apapun yang menjadi qadar-Nya.

Pertalian itu sedemikian rumit. Serumit kolaborasi huruf dan tanda baca yang mewakili perasaan kita. Bukan karena kita tak mampu membaca, hanya saja, ia telah tersampaikan melalui doa-doa panjang yang dipanjatkan. Meski, dalam diam.

Kilasan itu kembali menyambar. Bagaimana bila, jika pada akhirnya pertemuan dan kebersamaan bertemu pasangannya. Rasa-rasanya, aku bak baru hidup sehari dua hari bersamamu. Tangis bayi yang dulu menggembirakan tiba-tiba berubah menjadi tanggung jawab yang berlapis-lapis. Tak sekedar urusan pangan, bertambah sandang dan papan. Ia merembet ke banyak hal yang menuntut kita untuk sama-sama belajar.

Sebagaimana pertalian rumit ini. Aku menemukannya baru saja, ketika sebagian makna itu ku dapatkan. Ketika banyak salah dan guratan kecil kehidupan ku lakukan. Aku baru mengerti sekarang. Dahulu, yang ku ingini hanyalah sebatas kata. Sedang bagimu, satu kata itu berbuah tanggung jawab berlapis-lapis, hingga ia berat untuk dieja. Aku baru mengerti sekarang. Kadang, bagi sebagian orang, termasuk kita, satu kata itu telah menjelma menjadi tetes-tetes keringat; peluh yang tak pernah dikeluh; mata yang tirus kekurangan tidur dan disemai lembut doa-doa panjang dalam diam.

Ada banyak harap yang tak tersampaikan, melalui doa-doa panjang nan berulang itu, mengantarkan aku pada impianmu. Meski, ia belum bisa dituai. Ada banyak impian tak terjamah, Ia berikan banyak jalan untuk berbenah.

Begitu banyak hal yang ku pelajari darimu, meskipun ia hanya diam. Diam mu bermakna, semakna para fuqaha yang tak lekas memberi jawaban. Diam mu bak emas, ia amat berharga, hingga kata-katamu melebihi harganya. Diam mu, mengantarkan aku pada pertalian yang rumit antara kita. Menyemai makna kehidupan melalui titah-titah penuh sahaja. Meskipun kini, diam itu mulai menyemai beberapa kata, dalam sambungan bahasa.

Pertalian ini memang rumit, serumit itu pula aku membahasakannya.


Ruangan kecil untuk kesekian kalinya,
Semoga kita berkumpul di Jannah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar