Senin, 27 Oktober 2014

Bumbu Ikan

Kayaknya, kita lebih senang makan bumbu ikan yang enak daripada ikannya itu sendiri. (@backpackerinfo)
Pun, kita lebih sering mengeluh rasa bumbunya yang kurang enak dibanding ikannya itu sendiri (@sitiusbandiyah)
Terkadang, bahkan sering kali kita disibukan soal rasa akan peristiwa, bukan konteks sebenarnya. Seperti saat kita makan ikan. Kita lebih senang memakan bumbu ikan yang enak dari pada ikan itu sendiri. Kita juga sering mengeluh rasa bumbunya yang tidak enak, dibanding ikannya itu sendiri.

Mari selalu sediakan kaca dan mari berkaca. Raut wajah seperti apa yang kita gurat disana atas peristiwa yang menimpa kita? Adakah senyum serta raut gembira, atau bermuram durja? Jangan-jangan, selama ini kita hanya terjebak wacana: enak dan tidaknya bumbu yang kira masak. Bukan soal ikan, esensi kehidupan yang sebenarnya. Jangan-jangan, eskpresi dan emosi kita waktu itu hanya soal bumbu bukan soal isi dan gizi.

Atau barangkali memang demikian? Sejatinya, ikan itu memang tidak memiliki rasa apapun. Ia tawar, layaknya air jernih tanpa campuran apapun. Selebihnya, tinggal bagaimana kita meracik bumbu, memasaknya dalam panci kehidupan. Seekor ikan yang sama akan nampak dan terasa beda sebab racikan bumbunya.
Ada yang lezat, ada yang kurang lezat dan ada yang tidak sama sekali. Ada yang menarik dilihat, ada yang biasa saja dan ada pula yang tak menarik hati. Sekali lagi, meski, ikan itu berasal dari laut yang sama.
 Dan kelezatan itu menguji peraciknya kembali. Sebagian akan merasa: hanya ikan miliknya yang lezat atau hanya ikan miliknya yang tidak lezat. Sebagian lagi akan bersangka bahwa salah ikannya, mengapa ia begini dan begitu, sehingga rasanya tidak lezat? Seharusnya ia begini dan begitu, menyalahkan laut, tempat ikan itu berasal.
Sebagian lagi, menyesal tiada tara. Ia bilang, "aku tak suka ikan! Aku ingin kerang, aku ingin teripang, aku ingin ini, aku ingin begitu, bukanlah ikan!" Terus menggerutu tiada habisnya.
Lalu, bagaimana dengan rasa ikanmu, wahai diri?



Ruangan kecil,
Muharram hari kelima.
Menyalin sebagian refleksi dari catatan subjektivitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar