Senin, 26 November 2012

Izul Falaq, Namanya

23 November 2012

Malam ini, saya mendengar takjub cerita seorang santri takhasus: Izul Falaq namanya. Akhwat ini berusia lebih muda dariku. Sejak kecil ia sudah tak berayah juga beribu, jauh datang dari Bima hanya untuk Al-Quran. Kecintaan kepada ayah dan ibu yang tak sempat diingatnya, keinginan besar menghadiahkan mereka tercinta dengan Al-Quran menggerakannya ke rumah ini. Rumah yang disemai tilawah Al-Quran di seluruh penjurunya.

Ternyata, menghafal Al-Quran itu penuh perjuangan. Ia harus berkali pindah tempat: Bekasi, Bogor, Ciamis, Ciracas, Pasar Minggu hingga Depok dengan beragam alasan yang tak begitu dimengertinya. Ia ridha ditempatkan di mana saja, asal tetap dapat menghafal.
Dua tahun lamanya di tanah Jawa, ia putus komunikas dengan keluarga besarnya. Alhamdulillah, umi, salah seorang mudir di sebuah LTQ (Lembaga Tahfizh Quran) di Bekasi berbaik hati menanggung seluruh keperluan Izul. Izul meninggalkan Bima berbekal 3 nomor: paman dan dua abangnya. Sayangnya, ketiga nomor itu telah berganti. Jadilah Izul yang lugu tak mengerti ponsel bingung menghubungi siapapun di tanah yang jauh dari kelahirannya. Tanah asing baginya, dengan logat tak sekeras tanahnya.

Dua tahun lamanya, rindu menggebu dalam dada Izul.

“Umi, Izul mau telpon keluarga Izul.”

“Kamu tahu nomornya?”

“Ngga tahu, Umi.”

“Ishbir ya, nak. Di sini, Umi juga keluargamu”

Pernah ia mondok di Bima, tapi tak selesai karena pergi ke Jakarta. Pendidikan SMA diselesaikan melalui PKBM (paket belajar). Beberapa kali pindah tempat, beberapa kali pula ia harus mengulang PKBM. Akhirnya, SMA ia selesaikan di Depok di sebuah PKBM dekat masjid Terminal, Depok.  

Suatu hari, saat berbenah memasuki sebuah LTQ baru. Ada seorang laki-laki yang parasnya seperti dikenalnya. Lama ia berpikir hingga laki-laki itu telah pergi. Aha, dia abangku! Ya, dia adalah abangmu yang satu pondok denganmu dulu. Meski ia bukan abang kandungmu, engkau masih terikat saudara dengannya, beberapa keturunan di atasmu. Izul yang lugu bercerita kepada musyrifah, musyrifah bercerita kepada istri mudir dan mudir, ustadz pimpinan LTQ berbicara langsung kepada sang ikhwan.


Ternyata, ia benar-benar abangmu. Dua tahun lamanya tanpa kabar akhirnya Allah mempertemukanmu dengan salah seorang saudaramu. Hari berikutnya, datang dua abangmu yang tengah menempuh pendidikan di Al-Hikmah untuk menjemputmu. Di daun pintu, setelah salam satu pertanyaan haru sekaligus menyebalkan menyergahmu.


“Kamu benar Izul? Kamu masih hidup, Zul?”

Ah, ada-ada saja abang ini, gumam mu. Tapi, ternyata pertanyaan itu yang selalu diulang siapapun yang mendengar kabarmu di tanah Jawa setelah dua tahun tanpa kabar sedikit pun. Semenjak itu, ada kiriman khusus untukmu. Sedikit demi sedikit engkau menabung untuk membeli ponsel. Saat ponsel sudah di tangan, ia langsung penuh oleh sms dan telepon beragam nomor.


Tak ada yang dijawab, sebab engkau sendiri bingung menggunakannya. Yang kau ingat, hijau untuk mengangkat telepon dan merah untuk menutupnya. Pertanyaan yang sama kembali ditujukan kepadamu.


“Kamu benar Izul? Kamu masih hidup, Zul?”


***

Tapi ada yang lebih menarik darimu, Zul. Aku ternganga dengan goretan puisi yang kau buat, Zul. Mengingatkan kami, kita semua akan pentingnya jihad. Ya, jihad, kau ulang berulang kata itu. Mengapa kita lengah, terlena dunia dan lupa akan kenikmatan jihad?! Oh, Rabb, barakahkan penulisnya di jalan-Mu, jalan dakwah, jalan juang bersama Al-Quran.

Juga ceritamu saat ku tanya, bagaimana kiatnya saat menemui kondisi futur.  Jawabmu cukup tegas, “Dalam kondisi futur apapun, Izul harus tetap nyetor. Biar satu ayat pun, biar pun ngga lancar. Dan ustazah selalu menyuruh Izul paling pertama, setiap hari.”

Juga motivasimu bersama Al-Quran. Engkau benar-benar menghayati kisah bunda Hajar bersama Ismail di tanah tandus. Terngiang tanya seorang temanmu, ia heran tak pernah melihatmu begitu sedih atau bahagia. Singkat engkau menjawab:

“Aku sedih di tengah malam, mengingat dosa-dosa. Dan aku bahagia saat hafalanku lancar dan bertemu keluarga.” Oh, zul. Ayah dan ibumu sedang tersenyum di sana.

Yang membuatku kagum, dibalik candamu, keisenganmu, kata yang keluar dari lisanmu sungguh berat. Karena Quran dan hadits ada di dalamnya.

“Allahummarhamna bil qur’aan.. Robbighfirlii waliwalidayya waliman dakhola baitiya mu’minan walilmu’minina wal mu’minaati walaatazidizh zholimiina illa tabaroo” (Nuh: 28)

Izul, engkau inspirasi tak bertepi. ^____^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar