23 November 2012
Malam ini, saya mendengar takjub cerita seorang santri
takhasus: Izul Falaq namanya. Akhwat ini berusia lebih muda dariku. Sejak kecil
ia sudah tak berayah juga beribu, jauh datang dari Bima hanya untuk Al-Quran.
Kecintaan kepada ayah dan ibu yang tak sempat diingatnya, keinginan besar
menghadiahkan mereka tercinta dengan Al-Quran menggerakannya ke rumah ini. Rumah
yang disemai tilawah Al-Quran di seluruh penjurunya.
Ternyata, menghafal Al-Quran itu penuh perjuangan. Ia harus berkali pindah tempat: Bekasi, Bogor, Ciamis, Ciracas, Pasar Minggu hingga
Depok dengan beragam alasan yang tak begitu dimengertinya. Ia ridha ditempatkan
di mana saja, asal tetap dapat menghafal.
Dua tahun lamanya di tanah Jawa, ia putus komunikas dengan
keluarga besarnya. Alhamdulillah, umi, salah seorang mudir di sebuah LTQ
(Lembaga Tahfizh Quran) di Bekasi berbaik hati menanggung seluruh keperluan
Izul. Izul meninggalkan Bima berbekal 3 nomor: paman dan dua abangnya. Sayangnya,
ketiga nomor itu telah berganti. Jadilah Izul yang lugu tak mengerti ponsel
bingung menghubungi siapapun di tanah yang jauh dari kelahirannya. Tanah asing
baginya, dengan logat tak sekeras tanahnya.
Dua tahun lamanya, rindu menggebu dalam dada Izul.
“Umi, Izul mau telpon keluarga Izul.”
“Kamu tahu nomornya?”
“Ngga tahu, Umi.”
“Ishbir ya, nak. Di sini, Umi juga keluargamu”
Suatu hari, saat berbenah memasuki sebuah LTQ baru. Ada seorang
laki-laki yang parasnya seperti dikenalnya. Lama ia berpikir hingga laki-laki
itu telah pergi. Aha, dia abangku! Ya, dia adalah abangmu yang satu pondok
denganmu dulu. Meski ia bukan abang kandungmu, engkau masih terikat saudara
dengannya, beberapa keturunan di atasmu. Izul yang lugu bercerita kepada
musyrifah, musyrifah bercerita kepada istri mudir dan mudir, ustadz pimpinan
LTQ berbicara langsung kepada sang ikhwan.
Ternyata, ia benar-benar abangmu. Dua tahun lamanya tanpa kabar akhirnya Allah
mempertemukanmu dengan salah seorang saudaramu. Hari berikutnya, datang dua
abangmu yang tengah menempuh pendidikan di Al-Hikmah untuk menjemputmu. Di daun
pintu, setelah salam satu pertanyaan haru sekaligus menyebalkan menyergahmu.
“Kamu benar Izul? Kamu masih hidup, Zul?”
Ah, ada-ada
saja abang ini, gumam mu. Tapi, ternyata pertanyaan itu yang selalu diulang
siapapun yang mendengar kabarmu di tanah Jawa setelah dua tahun tanpa kabar
sedikit pun. Semenjak itu, ada kiriman khusus untukmu. Sedikit demi sedikit
engkau menabung untuk membeli ponsel. Saat ponsel sudah di tangan, ia langsung
penuh oleh sms dan telepon beragam nomor.
Tak ada yang
dijawab, sebab engkau sendiri bingung menggunakannya. Yang kau ingat, hijau
untuk mengangkat telepon dan merah untuk menutupnya. Pertanyaan yang sama
kembali ditujukan kepadamu.
“Kamu benar Izul? Kamu masih hidup, Zul?”
***
Tapi ada yang lebih menarik darimu, Zul.
Aku ternganga dengan goretan puisi yang kau buat, Zul. Mengingatkan kami, kita
semua akan pentingnya jihad. Ya, jihad, kau ulang berulang kata itu. Mengapa
kita lengah, terlena dunia dan lupa akan kenikmatan jihad?! Oh, Rabb, barakahkan
penulisnya di jalan-Mu, jalan dakwah, jalan juang bersama Al-Quran.
Juga ceritamu saat ku tanya, bagaimana
kiatnya saat menemui kondisi futur. Jawabmu cukup tegas, “Dalam kondisi
futur apapun, Izul harus tetap nyetor. Biar satu ayat pun, biar pun ngga
lancar. Dan ustazah selalu menyuruh Izul paling pertama, setiap hari.”
Juga motivasimu bersama Al-Quran. Engkau
benar-benar menghayati kisah bunda Hajar bersama Ismail di tanah tandus.
Terngiang tanya seorang temanmu, ia heran tak pernah melihatmu begitu sedih
atau bahagia. Singkat engkau menjawab:
“Aku sedih di tengah malam, mengingat
dosa-dosa. Dan aku bahagia saat hafalanku lancar dan bertemu keluarga.” Oh,
zul. Ayah dan ibumu sedang tersenyum di sana.
Yang membuatku kagum, dibalik candamu,
keisenganmu, kata yang keluar dari lisanmu sungguh berat. Karena Quran dan
hadits ada di dalamnya.
“Allahummarhamna bil qur’aan..
Robbighfirlii waliwalidayya waliman dakhola baitiya mu’minan walilmu’minina wal
mu’minaati walaatazidizh zholimiina illa tabaroo” (Nuh: 28)
Izul, engkau inspirasi tak bertepi. ^____^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar