Selasa, 20 Desember 2011

Hukum 10 Ribu Jam


Sepertinya, perdu mulai mehijaukan hati dan kalut yang hendak menyelubungi pikiranku. Hm, hanya karena sebuah kalimat sederhana: RUMUS 10 RIBU JAM. Sesuatu yang menurutku akan mengrenyitkan dahi siapa pun yang membacanya. Dan tahukah engkau? Aku mendapatkan kalimat itu dari sebuah novel yang mulanya ku anggap enteng! Sebuah interlude yang dituliskan Fuadi dan menyelingi setiap kisah tentang mimpi pohon anggur yang akan tumbuh di rumah seorang anak, Rindu namanya. Tepatnya: Rindu Purnama, judul novel itu. Karya pena seorang maestro tulis, Tasaro.



Sebuah interlude yang bisa dikatakan intermeso nan bermakna bijak. Hm, lagi-lagi aku menemukan buah karya yang menyedot perhatian dan minatku. Terpenting, motivasi dan pikiranku kembali hidup. Asal engkau tahu, kawan, aku sedang penat dengan rutinitas dan perjuangan yang tak jua membuahkan hasil. Dan kini, aku telah menghabiskan dua novel: The Kite Runner dan Rindu Purnama itu. Aktivitas membaca kembali men-charge baterai otakku.

Subhanallah, mungkin benar pernyataan narasumber bedah buku di Islamic Bookfair tahun lalu, 2010. Memang, topik saat itu adalah menyikapi seorang tokoh nasional yang baru saja tutup usia, alm. Gusdur. Tapi, ada petikan penting saat ia menjawab pertanyaanku saat itu tentang kafarat "dibunuh" bagi orang yang melanggar maqashid syar'iyah hasil pemikiran mendalam ulama kondang, Ibnu Thaimiyah. Kira-kira ia menjawab begini,

"Ada yang terasa dampaknya daripada menimpakan hukuman mati bagi seseorang, yaitu buku. Di mana dampaknya bisa sampai 100 tahun!"

Begitu ajaibnya sebuah buku itu.

Kembali tentang rumus tadi, 10 RIBU JAM. Ternyata, untuk menjadi seseorang yang sukses (dalam berbagai dimensi yang berbeda) kita butuh banyak dan lama belajar. Seberapa banyakkah? Seberapa lamakah? Rumus sederhananya: 10 RIBU JAM. Ya, selama 10 ribu jam itu secara spesifik kita menekuni apa yang menjadi bidang kita. Kalau dikalkulasikan, jika kita "menekuni" alias belajar selama 8 jam dalam sehari, maka butuh waktu 1.250 hari atau sama dengan 3,4 tahun. Kalau dipotong  hari libur dan sebagainya, 3,4 tahun itu bolehlah kita bulatkan menjadi 4 tahun. Jadi, kita harus berlatih dan menekuni bidang itu selama 10 RIBU JAM = 4 TAHUN!

Hukum 10 ribu jam ini, nyatanya tak pernah berdiri sendiri. Pentingnya lingkungan yang mendukung dan kesempatan untuk menekuni bidang spesifik tadi. Ini menunjukan, tidak satu pun orang yang dapat sukses dengan sendiri. Ia tetap butuh "orang lain". Nah, bagaimana jika kita tidak mendapat keduanya? Jangan khawatir, rumus terpenting adalah kesungguhan.

Seperti kata Imam Syafi'I, berlama-lama mendalami sebuah bidang (thulu zaman) belum cukup kalau tidak dilakukan dengan kesungguhan. Usaha yang lama perlu dilengkapi dengan kesungguhan, tanpa kesungguhan hasilnya mungkin tidak maksimal. Spirit ini erat dengan spirit words dalam bahasa arab yang akrab di telinga kita, "Man Jadda wa Jadda". Kita harus bersungguh-sungguh menciptakan lingkungan itu, utamanya pada diri kita sendiri. Ketika kesempatan menghadang, mudah sekali bagi kita untuk menyambarnya. Kesungguhan inilah yang mendongkrak kita untuk "Go Extra Miles".
(selengkapnya, baca saja: Rindu Purnama, Tasaro G.K. dan A. Fuadi terbitan Bentang)

Nah, itulah komitmen yang terpatri, kini. 10 RIBU JAM untuk sebuah kesungguhan, menjadikan nyata impian yang telah ku tuliskan!

Back to…LAPTOP! Hush..bukan. Kita ulang lagi, back to…PERDU! Nah, itu baru benar.

Kenapa perdu? Ya, karena dia perdu. Maaf, karena dia hijau dan rumit. Nah loh? Aku juga sebenarnya bingung, kok, kata ini yang muncul di otakku. Tapi, itulah yang mewakili permasalahan pelik yang menghinggapiku kini. Sederhananya begini, polusi tentunya hal biasa yang mewabah di setiap ruas jalan Jakarta ini, bukan? Yang identik dengan macet, stres, capek, tua, dan kekalutan. Semacam kecemasan berlebihan karena masalah tak urung selesai. Lalu, tiba-tiba engkau melihat sesuatu serba hijau. Sesuatu yang tak biasanya engkau rasakan. Nyaman rasanya, bukan? Tapi, si-hijau tadi bukanlah pepohonan berbaris nan menjulang, menyisihkan gas karbon dan menggantinya menjadi gas oksigen, sehingga serasa lapang dunia ini. Bukan, sekali lagi bukan. Ia hanya tanaman perdu. Ya, perdu. Kau tahu apa itu?

Ya, dia hanyalah tanaman kecil. Mungkin boncel. Ibarat replika pepohonan berbaris yang menjulang itu, serba hijau memang, namun rumit. Karena itu, ia tak bisa disebut pohon. Sebab, menjadikan dirinya sungguh sulit. Tapi, apa yang engkau rasakan jika barisan pohon itu digantikan dengan rerimbunan tanaman perdu yang tumbuh di sana sini? Berbaris rapi, dan tentu lebih banyak jumlahnya. Akan tetap nyaman, bukan?

Lalu, dimana bedanya?

Kawan, barisan pepohonan itu bagiku adalah sebuah simbol. Simbol akhir sebuah pencapaian dari segala masalah yang meringkuk dalam otak ku kini. Menggantikan polusi, bagai tiada akhir berhenti. Dan digantikan dengan pepohonan nan hijau itu, impianku. Tapi, yang kini ku dapat bukanlah pohon-pohon yang tinggi besar. Tapi, tanaman perdu. Tanaman yang berukuran kecil menggantikan setiap kepenatan karena polusi, permasalahan yang ada. Bagiku, ia ibarat suplemen baru. Motivasi segar.

IMPIAN BOLEH BERUBAH, SEMANGAT MENCAPAI IMPIAN TAK BOLEH BERUBAH.

Kira-kira seperti itu yang ku dapatkan. Jika dahulu aku bermimpi setinggi langit menjadi apa aku nanti, maka kini aku merubahnya. Tepatnya, membelokannya sedikit. Jika aku bermimpi menjadi orang besar dengan sederet predikat terbaik di bidang eksak, menjadi orang besar yang mungkin seperti definisi kebanyakan orang tafsirkan. Kedokteran, fisika dan astronomi. Itulah minatku, rumus-rumus al-jabar, kalkulus dan beragam pengetahuan eksak mendominasi tafsir orang besar atau sukses di kepalaku. Ia yang ibarat pohon besar dan menjulang, aku dengan optimis tingkat tinggi akan menciptakannya. Menanam bibit, menyiram, dan menunggu hasilnya. Finish.

Tapi kini, aku sadar. Dan seharusnya sadar. Setelah berletih-letih menghabiskan waktu, biaya dan kesempatan! Aku melalaikan semuanya, hampir semuanya. Bukan lagi eksak yang ku tempuh, tapi, sosial. Ya, sosial. Sesuatu yang belum pernah aku torehkan sebagai impian cadangan, sungguh timpang. Semangatku naik turun, sekali naik beberapa anak tangga, selanjutnya aku turun berpuluh-puluh anak tangga. Oleng, goyah. Proses pencarian jati diri, kilahku. Dua tahun sudah ku lewatkan dengan "begitu saja". Ada yang salah selama ini. Apa yang ku dapatkan? Apa pula yang kutorehkan? Rasanya tidak ada, belum ada tepatnya. Masuk ke wilayah sosial, dengan istilah ekonomi, akuntansi, perbankan, dan syariah. Itulah duniaku kini. Ilmu baru, teman baru, wawasan baru, pengalaman baru dan baru saja ku lewatkan begitu saja? Pohon-pohon besarku hampir tumbang semuanya! Runtuh satu per satu.

Dan kini aku baru "ngeh". Akhir-akhir ini aku diakrabkan dengan istilah: koperasi, ekonomi, syariah dan manfaat! Aku ingin bermanfaat sebesar-besarnya bagi umat ini. Setidaknya, ada yang kutorehkan untuk mempersiapkan kejayaan Islam di negeriku Indonesia, nanti. Itulah belokan paling tajam, putaran kemudi yang paling bertenaga yang membedakanku dengan impianku yang lalu. Sederhana memang, maka dari itu aku menyebutnya "Tanaman Perdu". Biar pun perdu, tapi efeknya sama dahsyatnya, bukan!

Ya Rabb, ku komitmenkan dalam diri, hanya menghamba pada-Mu dan terus berpegang pada al-huda yang dibawa rasul-Mu.
Ya Rabb, aku bersyukur pada-Mu, karena kini, aku akan membuktikan bahwa aku adalah Tanaman Perrdu itu!

IMPIAN BOLEH BERUBAH, SEMANGAT MENCAPAI IMPIAN TAK BOLEH BERUBAH.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar