Selasa, 20 Desember 2011

Jilbab pun Mengadu

 Seperti biasa, aku akan berplesiran  jika jenuh mulai datang. Dan yang aku tahu, begitu pula yang dilakukan oleh Imam Syafi’i. Memang benar, dengan melakukan perjalanan, bukan hanya mengusir jenuh yang menghampiri. Namun menambah item-item “hikmah” dalam kantung-kantung hati yang mulai hampa.

Seperti kisahku kali ini, suatu hari aku berkeliling sebuah pasar di mana di sana, berjejer jilbab-jilbab nan cantik. Ku pelankan langkah demi melongok model-model jilbab terbaru saat ini. Kadang aku berjinjit jika tempatnya agak tinggi. Kadang pula sedikit mundur, membungkukan badan atau mungkin berjongkok karena letaknya yang rendah.
Kali ini sebuah model jilbab terbaru, baru saja ditinggalkan kerumunan orang. Jika dilihat, jilbab itu memang cantik. Warnanya cerah, banyak pula kolaborasi dan gradasi warna tertentu. Orang bilang, pasmina namanya. Tapi, ada yang menarik hatiku. Ku sapa ia.

”Hai, kenapa kau tekuk wajahmu? Bukankah banyak sekali orang yang menyukaimu?”

Ia tak menjawab, hanya tersenyum kecut.

“Ada apa denganmu? Jika kamu berkenan, telinga ini akan mendengar semua ceritamu.”

Kini ia tersenyum, memulai bersuara.

“Kawan, memang banyak orang yang menyukaiku tapi tak banyak yang benar-benar menjadikanku sebagai jilbabnya. Aku hanyalah penghias diri agar tampak cantik kemudian laki-laki pun menyanjungnya. Bukankah jilbab adalah penunduk hati agar lebih tawadhu? Lalu, apa gunanya aku?”

Ia menangis, aku tak tahu harus bagaimana. Ku lihat, ada jilbab lain yang menyimak obrolan kami. Ia pun menyeru,
“Bukan  hanya engkau yang merasa demikian kawan, mungkin akulah yang paling malang nasibnya. Aku hanyalah sehelai kain tipis yang dipakai asal oleh muslimah-muslimah. Mereka menjadikanku  jilbabnya. Bukan, aku hanyalah penutup kepala yang bila angin datang, tersibaklah  aurat di kepala mereka. Bahkan, sedikit cahaya saja, aku sudah menampaka sebagian  leher, kepala dan  ikatan rambut mereka. Lalu, apa gunanya aku?”

Ia ikut menangis. Melihat kedua teman baruku menangis, aku mulai salah tingkah. Apa yang harus aku lakukan?
“Hai kamu, kawan. Iya, kamu. Apa yang kamu perbuat pada kedua temanku? Betapa tak berperasaannya kamu ini!”
“Ah, aku? Kawan, kau salah paham. Aku tak melakukan apapun. Percayalah, ucapanku ini benar adanya. Hai, kamu, siapa namamu? Bantulah aku.”

Sehelai jilbab tipis itu masih sesegukan, “Aku paris. Benar kawanku, jaguar. Kami hanya menceritakan kisah pilu kami. Kami tidak sepertimu, kami bukanlah benar-benar jilbab.”

“Ah, kau jaguar rupanya. Unik sekali namamu. Bolehkah aku mendengar kisahmu?”

“Kisahku? Boleh saja. Baru ku paham, mengapa mereka bersedih. Mungkin, aku  lebih beruntung dibanding mereka. Itu karena fisikku yang tebal dan tidak tembus pandang, sehingga aku memenuhi syarat mutlak jilbab. Ukuranku yang panjang pun dapat menutupi setiap lekuk tubuh hingga menutupi dada. Banyak pula yang mulai panjangkan jilbabnya hingga berkibar. Aku senang, aku bisa menjilbabi diri muslimah-muslimah yang mengaku dirinya sebagai da’i. Tapi, ternyata aku sama malangnya dengan kalian, kawanku.

Kini, banyak yang mulai mengubah niatnya ketika mengulur jilbabnya. Sebagian dari mereka pun ada yang ingin mengikuti tren seorang artis cantik. Tapi sayang, panjangnya jilbab yang menutup tubuh belum dapat menutupi perangai akhlaknya. Dan yang membuatku lebih sedih, sebagian dari mereka mengulurkanku sepanjang-panjangnya, namun membiarkan terik menembusku hingga mereka dapat menerawang apapun di balik diriku. Lalu, apa gunanya diriku?”

Ia pun menangis, bertambah sesegukan. Membiarkan diriku mematung, tak karuan hatinya. Lalu, apa yang harus aku lakukan?

“Engkau tak perlu melakukan apapun, kawan.”

“Hei, siapa dirimu?”

Aku berjongkok, sedikit menggelengkan kepala, mengerenyitkan dahi hingga kedua alisku bertemu. Ia melihat perubahan wajahku, kemudian tersenyum.

“Aku bukan siapa-siapa. Coba lihat aku baik-baik dan tebak siapa diriku?”

“Hm..kamu ini kain lusuh, mungkin warnamu dulu putih cerah tapi kini, engkau telah kusam. Sebentar, kamu bukanlah kain yang biasa dipakai muslimah sebagai jilbabnya, bukan?”

“Ya, benar.”

“Kamu itu seperti sebuah taplak meja, benarkah perkiraanku?”

“Ya, benar.”

“Benarkah? Lalu..?”

Ia pun tersenyum padaku. Senyum yang manis, gumamku.

“Pasti kau bertanya-tanya, mengapa aku berada di tempat ini bersama jilbab-jilbab cantik? Dan mengapa aku ada di bawah sini, dekat denga potongan-potongan kain yang hendak dibuang. Bukan begitu?”

Aku mengangguk.

“Benar, aku hanya selembar kain pelapis meja. Beginilah corakku, tak seperti corak pada umumnya. Aku hanyalah warna putih polos dengan beberapa garis milik sebuah keluarga pemiliki bilik. Keluarga ini memiliki seorang Putri. Putri yang cerdas dan senang menuntu ilmu. Suatu hari, sang Putri telah beranjak remaja. Sampailah ia pada ayat yang memerintahkan muslimah mengulurkan jilbab hingga menutup dadanya. Sedang jilbab yang ia punya, hanyalah jilbab-jilbab mungil semasa kecil dan selendang sekedar penutup kepala.

Kau tahu masa itu? Masa di mana jilbab bukanlah kewajiban. Tepatnya, masa di mana muslimah didoktrin untuk tidak berjilbab. Tahukah kau? Hm.., pastinya engkau belum tahu. Sebab masa itu adalah masa mudaku, masa di mana engkau belum lahir ke dunia. Masa di mana, seorang muslimah akan diintimidasi jika jilbab menutup sebagian tubuh bagian atasnya.
Suatu hari, Sang Putri membeli sepotong jilbab cantik. Kemudian ia kenakan ketika berangkat sekolah bersama seragam putih abu-abunya. Sang Putri bersekolah di sekolah umum bergengsi, bukan sekolah agama yang penuh para santri. Sehingga, melihat seorang berjilbab adalah pemandangan aneh, nampak bagai orang yang asing.

Entah bagaimana ceritanya, ia dihadang oleh pemimpin sekolahnya. Sebelum hendak melarikan diri, tangan pemimpin sekolah itu telah menarik helai jilbabnya hingga sebuah jarum melukai lehernya. Sadar, kepalanya telah terbuka, bergegas teman dekatnya menutupkan kepala sang Putri dengan sebuah taplak yang dibawanya. Taplak itu adalah aku. Yang dimaksudkan menutup meja sebuah kelas, justru aku adalah penyelamat di situasi darurat.
Sejak saat itu, akulah satu-satunya jilbab baginya. Sebab jilbab cantiknya telah lenyap oleh robekan kasar seorang pemimpin yang tak pantas memimpin. Aku pun satu-satunya yang dipunyainya, karena tak ada lagi kesempatan memiliki jilbab cantik selanjutnya.

Aku menemani persidangannya yang menghasilkan keputusan: TANGGALKAN ATAU KELUAR!
Aku menemani keistiqomahannya, keteguhannya dan perjuangan dakwahnya. Aku menemani keanggunan akhlak dan tutur lembutnya. Aku menemani panas yang terik dan garang semangatnya bersuara lantang menantang peraturan tidak masuk akal dan telah banyak memakan korban: “Larangan Berjilbab di Sekolah”.

Aku menemani kerasnya kehidupan dan dahsyatnya kesabaran. Aku menemaninya merenggut manisnya iman dan indahnya ukhuwah yang membuat bulu kuduku berdiri. Aku menemani kesederhanaannya. Bahkan aku menemani sakaratul mautnya walau ia telah melipatku, menggantikanku dengan jilbab yang berlapis. Aku digenggamnya erat. Aku adalah sapu tangan tangis-tangisnya. Dan kini, aku sendiri. Ia telah pergi dengan senyum mengembang.
Kawan, kau saudaraku. Ingatkah engkau kisah Kithmir yang ikut bersama tujuh pemuda Tarsus yang mengasingkan diri dalam gua? Ingatkah engkau kisah batang kurma lapuk yang pernah menjadi mimbar dan sesegukan berkisah pada Rasulullah?

Aku ingin seperti mereka, hidup abadi bersama tuanku lebih aku sukai dibanding di sini. Maukah kau membantuku, kawan? Kuburlah aku, biar koyak tubuhku bersama gemburnya tanah. Biarlah aku bertemu sang Putri dan mengecupnya. Ingin aku memberi selamat padanya dan menjadi jilbab abadinya di sana.”

Kali ini, aku yang sesegukan. Menangis, sedu sedan mendengar kisah begitu tulus sepotong jilbab yang mengadu. Ah, Rabb, bagaimana dengan aku dan jilbabku?

1 komentar: