Selasa, 20 Desember 2011

Paradoks Indonesiaku..

Aku tidak mengerti. Bagaimana banyak orang-orang miskin dalam sebuah negara kaya raya? Bagaimana mungkin banyak orang lapar di sana-sini sedang para pemangku jabatan berpesta pora? Atau meringkuk dalam gelap gulita sedang yang lain bersandar dalam hingar-bingar kota? Atau terkubur dalam-dalam di dasar kerak kebodohan dan sejuta kebutaan aksara, sedang mereka senantiasa bergumul dengan rumus atau berkelana menyelami samudera maya? Ia terus berkumpul dalam awan tanya otak ini. Kian lama kian bertambah. Hingga penuh sesak membuat kepalaku sakit.

Lamat-lamat, semuanya bersatu padu membentuk kerangka tanya besar. Siapa sebenarnya yang salah? Mengapa harus terjadi di sini, negeriku, Indonesia. Tempat aku bertumpah darah ibuku sebelum dada sesak menghirup udara baru,  dunia. Tempat di mana ku bisa merasa bangga padanya, dan tak jarang menahan malu hanya untuk menyatakan: AKU ANAK INDONESIA.
Oh, negeriku sayang negeriku malang. Malunya, menjadi anak Indonesia. Begitulah kata orang. Tapi, sejenak ku berpikir. Bukankah negeri ini super kaya dan berkelimpahan potensi?


Sebuah lembar titah cinta sang Pencipta ku temukan, 

ولو أنّ أهل القرى ءامنواْ واتقوْا لفتحْنا عليهم بركــتٍ مّن السّماء والأرْض ولكنْ كذّبوا فأخدهم بما كـانوا يكسبون

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Al-a'raf: 96)


Dus, inilah jawabannya. Bukan jawaban atas pertanyaan siapakah yang salah, tapi benarkah kita melangkah saat ini? Rel ketaqwaan yang dinaungi keimanan, ataukah kerikil-kerikil maksiat tanpa henti terus disandungi. Bukankah Allah memberi kebebasan kepada kita untuk memilihnya? Astaghfirullah.

Tapi, aku masih belum mengerti. Mengapa Indonesiaku? Bagaimana ini bisa terjadi? Dan akankah...semuanya dapat berakhir?

Masih terbuka lebar lubang yang dipenuhi asap tebal kebodohan. Allahu'alam.

Rabbi zidni 'ilman war zuqni fahman, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar