Rabu, 14 Desember 2011

Pohon Keimanan

Mari, silakan masuk kembali, tamuku. Kali ini, ada bingkisan baru untukmu. Mau? Yup, pastinya berhubungan dengan pohon, seperti gambar di samping.

Siapa yang belum pernah melihat pohon? Ada yang ingin angkat tangan? Tidak mungkin, bukan? Saya pastikan tidak ada, kecuali ada di antara kita yang hidup di antara beton-beton kota tanpa pepohonan sekalipun. Mungkinkah?

Saya ingin bercerita, dengarkan baik-baik, ya? Jangan lupa, hidangannya silakan dicicipi. Monggo.. :)

Air, tanah dan udara adalah kombinasi alam yang harmonis, ya. Saking harmonisnya, kombinasi tersebut dapat membuat sebuah biji yang keras bertunas. Air akan melembabkan tanah, udara menghantarkan unsur-unsur bergizi dan membawanya kepada tanah, di sinilah biji ikut dalam kombinasi tiga elemen tersebut. Ia mulai membusuk, namun bukan sembarang membusuk. Sebab, dalam hitungan hari, biji akan mulai meretas pembungkus dirinya, membelah dan tak lama kemudian, tunas pun muncul. Sudahkah ia menjadi pohon?


Tentu, belum. Karena perjuangan biji belum berakhir. Tunasnya akan menyembul keluar, bertemulah ia dengan udara secara langsung termasuk sengat hangatnya matahari. Di sini, biji mulai mengenal dunia. mulai saat inilah, biji mulai menghujamkan akarnya. Lambat laun, biji mulai meninggalkan kotiledonnya. Ia mulai berdiri tegak menghadap arah matahari. Semilir angin, mulai membelai batangnya yang belum kuat.
 

Tapi, ternyata biji tetap saja tumbuh, ya? Padahal, beragam musim yang kadang bisa mematikan datang. Biji mulai menumbuhkan satu per satu daun pada batangnya yang masih rapuh, penguatan batang pun tak lupa ia lakukan. Biji sudah mulai tinggi dan menunjukan keelokan dirinya yang mungil. Apakah biji sudah dapat kita sebut pohon? Ternyata, masih belum.

Terus tinggi dan meninggi.. Sebab ia punya mimpi, "Aku ingin menggapai matahari!" Oh, biji yang penuh semangat. Tak terasa, tahun-tahun mulai berlalu. Biji sudah memiliki batang yang kokoh, ranting-ranting bercabang penuh dedaunan. Kini, dapatkah kita menyebutnya pohon?


Yup, betul sekali, teman. Sekarang kita bisa memanggilnya pohon, bukan lagi biji. Sejak kapan kah? Yup, tepat. Saat biji sudah tidak membutuhkan kotiledon alias cadangan makanan, dan ia memproduksi makanannya sendiri. Tapi, tahukah kamu, teman? Biji mengubah mimpinya, "Aku ingin berbunga dan berbuah!" Setelah itu? Fase biji selesai, begitu pun fase pohon. Akan tetapi, pohon akan menyiapkan biji-biji baru sebelum ia mengakhiri fasenya.


Siapakah biji itu? Tahukah kau, teman? Mungkin, kalian akan menjawab: "itulah masa kecil kita, biji dapat dipadankan dengan bayi mungil yang baru memeluk dunia."

Pernahkah sejenak kita merenung, bahwa kita tak bisa mengelak akan menjadi biji pohon tertentu? Lagi-lagi kalian benar, ini adalah iradah, hak perogatif Allah. Tapi, biji tetap tumbuh sama, ya? Sebagaimana lazimnya, ia mulai memecah biji, berakar, berkecambah dan seterusnya. Walau secara zahirnya saja, mereka akan berbeda bentuk. Ada biji yang akarnya tunggang, ada pula yang serabut. Biji tetaplah perlu disemai air, udara dan tanah. Ia tumbuh dan menghujam dalam, baru kemudian biji telah berubah menjadi pohon. Persis seperti fase manusia.

Biji akan terus meninggi seperti mimpinya, tapi, akankah semua pohon akan berbunga dan berbuah? Apa jawabanmu, teman?

Begitulah keimanan. Jika mungkin, masa kecil kita selalu dipupuk rutinitas yang mendidik keshalihan. Jika mungkin, masa transisi itu kita habiskan di bilik-bilik surau. Atau mungkin sebaliknya, masa kecil kita dipenuhi kekerasan dan jauh dari huruf-huruf hijaiyah. Mungkin pula, sebagian dari kita tumbuh dalam keluarga tak berakidah? Tapi, pada masa itu, kita tetap saja anak kecil, bukan? Masih senang bermain, bergurau dan penuh rasa ingin tahu. Indah, ya?

Biji itu terus tumbuh, selayaknya kita yang terus dewasa. Melewati masa puberitas, masa di mana catatan amal tepat di tangan kita. Kita bebas menjadi apa yang kita mau, bebas menentukan masa depan. Ternyata, kedewasaan tak sama dengan masa kecil, ya? Kita tidak lagi bisa menyamakan persepsi, "Kita, sama-sama dewasa.."


Ada pohon yang tinggi, daunnya lebat, teduh dan meneduhi sekitarnya. Ada pula pohon yang semerbak dengan mewanginya bunga, elok dilihat nan menyejukan mata. Ada pula yang sering ditunggu-tunggu, setiap masa panen ia akan menghasilkan buah-buah nan lezat. Tapi, naas. Ternyata, ada pula pohon yang meranggas, kerontang dan hampir mati.

Begitulah kita, keimanan yang tak dapat diwarisi, ya? Biarpun beragam latar belakang keluarga, tetaplah hak ada di tangan kita. Sejarah kita adalah biji, tapi akhir masa kita adalah pohon tertentu yang memiliki nama.

Pohon manakah yang ingin kau pilih? ^_^, itu hakmu saudaraku. Tapi, perkenankan diri ini untuk sesekali menegurmu kala lalai. Tapi tenang, engkau terima atau tidak, itu pun tetap menjadi hak vetomu.

Lumayan panjang, ya, tamuku. Bagaimana bingkisan dariku kali ini? ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar