Jumat, 16 Desember 2011

Sudahkah Kita Beriman?

"Apa engkau khawatir dengan rencana Allah yang sangat indah, yang kini berada di Lauh Mahfudz-Nya? Teruslah perbaiki diri menjadi baik dan lebih baik lagi, insya Allah kebaikan akan datang dan menyertaimu."

Silakan duduk, tamuku. Ini saya bawakan poci dan cangkir-cangkir mungil lengkap dengan air hangat, gula dan sekantung teh. Jika engkau ingin teh, silakan. Tapi, tunggu dulu, biarkan saya mengambil secangkir air putih hangat itu baru kemudian engkau bisa celupkan kantung itu.


Coba lihat, teman. Air itu jernih, ya. Tak berasa juga tak berbau. Tapi coba lihat, saat tanganmu memasukan kantung teh ke dalamnya. Bercak-bercak cokelat keemasan muncul, menyebar dan merubah warna air itu secara keseluruhan. Tak ada lagi air jernih, tapi air berwarna keemasan dengan cita rasa tertentu yang kita sebut: air teh.


Oia, teman. Menurutmu, di manakah letak keimanan itu? Apakah engkau akan meletakan tangan ke dada dan berujrar, "..dia ada di sini, di dalam hati.."? 

Apakah hati itu jernih? Mungkinkah engkau menjawab, "..hati yang bersih, ia akan jernih.."?

Bagaimana engkau tahu? Mungkinkah engkau menjawab, "..ia tampakan keteduhan dan alirkan kenyamanan.."

Apakah ia bisa keruh? Akankah engkau menjawab, "..pasti, ketika anggota badan melakukan maksiat.."

Apakah hati pun bisa bermaksiat? Apakah engkau akan menjawab, "..sangat mungkin.."

Bagaimana ia bermaksiat? Engkau pun menjawab, "..saat hati tak lagi meyakini qadha dan qadar Allah.."


Jika hati ikut bermaksiat
Kita sepakat, tidak mungkin rasanya dalam sehari saja seluruh anggota tubuh ini dapat menghindari maksiat. Misalkan lisan, bisa saja beberapa menit yang lalu tak sengaja sebuah kata yang menyakiti saudaranya keluar darinya. Atau bisa saja, beberapa menit yang lalu, tangan ini tak sengaja mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Mungkin pula beberapa detik yang lalu. Maksiat-maksiat yang sedikit demi sedikit mendebet dosa ke rekening amal kita, yang bisa saja suatu saat nanti, ia akan mengkreditkan pahala yang kita punya.

Nah, bagaimana jika hati ikut bermaksiat? Tidak mustahil, bukan? Mungkin di benak teman kini, terbayang amal yang salah niat, ingat-ingat si dia, atau erat dengan kata futur. Tidak salah memang, namun yang sedang saya maksud di sini adalah ketika hati tak lagi yakin akan rencana Allah. Bukankah apa-apa yang terjadi di sekeliling kita bukanlah suatu kebetulan belaka? Namun tak lepas dari kehendak Allah? Jika hati ini sudah tak lagi yakin dan meyakini, bukankah hati ini tengah bermaksiat kepada-Nya?


Kekhawatiran, penyebab hati itu bermaksiat
Khawatir dan kecemasan adalah penyebab utama, mengapa hati itu bermaksiat. Siapapun kita, pasti akan dilingkupi rasa kekhawatiran, termasuk saya sendiri. Khawatir inilah yang mengakibatkan hati tak lagi yakin sepenuh hati, bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Harta, anak dan semua kekhawatiran terhadap perkakas dunia. Ia khawatir, kalau-kalau tak sesuai dengan keinginan hatinya. Kalau-kalau tak sesuai dengan yang dibutuhkannya. Termasuk kalau-kalau ia akan kehilangan sesuatu. Kalau-kalau dan kalau..


Bukankah Allah telah berfirman,
"..Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.." (An-Naas: 4-5)

Maka berlindunglah kepada Allah, Raja dirajanya illah, sesembahan manusia. Dia yang menciptakan jin dan manusia, termasuk syaitan, pemantik api kekhawatiran.

Kekhawatiran, mengantarkanmu pada angan-angan
Sekarang, menjadi sebuah fenomena di mana para pemuda yang sudah masuk kategori "siap menikah" melingkupi dirinya dengan banyak kekhawatiran. Tentunya, selain kekhawatiran banyaknya tugas menumpuk, ketrampilan yang dimiliki, skripsi yang menakutkan dan dunia pekerjaan yang menyeramkan.

Banyak di antara kita yang menyibukan diri mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Padahal hari esok adalah misteri, hak Allah, hari milik-Nya yang tak seorang pun manusia tahu apa yang akan terjadi nanti. Akibatnya, mengatasnamakan "galau", lantas para pemuda mulai menyusun kriteria-kriteria tertentu dan spesifik. Mencocokan setiap kriteria dengan orang-orang yang dianggapnya sesuai. Kemudian bersikeras, berangan-angan bahwa si dia akan menjadi pendampingku nanti! Hal ini tercermin dari setiap perkataan dan lakunya, baik disengaja maupun tidak.

Khawatir lantas menyisakan sedikit ruang dalam hati. Mulanya memang sedikit, kemudian hilang oleh dzikrullah yang menjadi wirid harian. Tapi, jangan salah sangka. Dan mesti kita akui, syaitan sangat cerdik dan paham menghadapi manusia macam ini. Bagaimana caranya, sedikit ruang kekhawatiran itu semakin melebar dan terus meluas hingga tak tersisa sedikit pun. Ia mencoba beragam cara untuk melenakan kita dari aktivitas ibadah, mulanya sedikit. Semakin lama, semakin membukit. Kita semakin jauh dari pengharibaan kepada Allah Swt., futur, berhenti.

Sudahkan kita beriman?
Apa jawabanmu, teman? Saya pastikan tidak seorang pun di antara kita yang akan menjawab: saya belum beriman! Ok, bagaimana jika saya bertanya, "apa iman itu?" Kalau dalam teks-teks mata pelajaran/kuliah, disebutkan bahwa iman adalah meyakini dalam hati, melafadzkan dalam lisan dan mewujudkannya dalam perbuatan.

Salahkah? Oh, tentu saja tidak. Dari pengertian tadi, poin pertama dalam iman adalah yakin, sepenuhnya meyakini dalam hati bahwa tiada illah selain Allah, yakin terhadap semua malaikat-Nya, kitab-kitab yang diwahyukan, Nabi dan Rasul-Nya, yakin kepada hari akhir termasuk yakin terhadap ketentuan baik dan buruk, dengan kata lain qadha dan qadar Allah.

Hati-hati, kawan. Jangan sampai kekhawatiran melucuti iman kita yang seringkali harus diupgrade dengan taubat karena maksiat-maksiat kecil. Jangan sampai, karena kekhawatiran akan masa depan, menjadikan kita menjadi seorang hamba yang kufur. Padahal masa depan adalah misteri, kecuali kematian. Karena sesungguhnya kita terus berjalan meninggalkan dunia menuju kehidupan akhirat yang abadi (petuah Ali ibn Abi Thalib).

Jangan khawatir dan terus perbaiki diri!
Optimislah, kawan. Bahwa apapun yang terjadi Allah Maha Mengetahui apa yang kita kerjakan dan Dia adalah sebaik-baik Pemberi Balasan. Dan sebaik-baik balasan adalah surga, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan teruslah perbaiki diri menjadi baik dan lebih baik lagi, insya Allah adalah keniscayaan, kebaikan akan datang pada kebaikan dan keburukan akan datang pada keburukan.


Yuk, simak kisah berikut yang saya kutip dari (http://kumpulansejarahkita.blogspot.com) bersumber dari koran Republika.
Mengingat harga-harga barang kebutuhan terus meningkat, seorang pemuda selalu mengeluh karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah berdiskusi dengan seorang kiai makrifat, pemuda itu pun mengikuti anjurannya untuk menjalankan shalat Hajat serta tetap istiqomah melaksanakan shalat wajib lima waktu.

”Pak Kiai, tiga tahun sudah saya menjalankan ibadah sesuai anjuran Bapak. Setiap hari saya shalat Hajat semata-mata agar Allah SWT melimpahkan rezeki yang cukup. Namun, sampai saat ini saya masih saja miskin,” keluh si pemuda.


“Teruskanlah dan jangan berhenti, Allah selalu mendengar doamu. Suatu saat nanti pasti Allah mengabulkannya. Bersabarlah!” Jawab sang kiai.


”Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?”


”Ya tentu saja tetap dari Allah, pokoknya sabar, pasti ada jalan keluarnya. Teruslah beribadah.”


”Percuma saja Pak Kiai. Setiap hari shalat lima waktu, shalat Hajat, shalat Dhuha, tapi Allah belum juga mengabulkan permohonan saya. Lebih baik saya berhenti saja beribadah…” jawab pemuda itu dengan kesal.


”Kalau begitu, ya sudah. Pulang saja. Semoga Allah segera menjawab permintaanmu,” timpal kiai dengan ringan.


Pemuda itu pun pulang. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya hingga tiba di rumah. Ia menggerutu tak habis-habisnya hingga tertidur pulas di kursi serambi. Dalam tidur itu, ia bermimpi masuk ke dalam istana yng sangat luas, berlantaikan emas murni, dihiasi dengan lampu-lampu terbuat dari intan permata. Bahkan beribu wanita cantik jelita menyambutnya. Seorang permaisuri yang sangat cantik dan bercahaya mendekati si pemuda.

”Anda siapa?” tanya pemuda.


”Akulah pendampingmu di hari akhirat nanti.”


”Ohh… lalu ini istana siapa?”


”Ini istanamu, dari Allah. Karena pekerjaan ibadahmu di dunia.”


”Ohh… dan taman-taman yang sangat indah ini juga punya saya?”


”Betul!”


”Lautan madu, lautan susu, dan lautan permata juga milik saya?”


”Betul sekali.”


Sang pemuda begitu mengagumi keindahan suasana syurga yang sangat menawan dan tak tertandingi. Namun, tiba-tiba ia terbangun dan mimpi itu pun hilang. Tak disangka, ia melihat tujuh mutiara sebesar telor bebek. Betapa senang hati pemuda itu dan ingin menjual mutiara-mutiara tersebut. Ia pun menemui sang kiai sebelum pergi ke tempat penjualan mutiara.


“Pak Kiai, setelah bermimpi saya mendapati tujuh mutiara yang sangat indah ini. Akhirnya Allah menjawab doa saya,” kata pemuda penuh keriangan.


”Alhamdulillah. Tapi perlu kamu ketahui bahwa tujuh mutiara itu adalah pahala-pahala ibadah yang kamu jalankan selama 3 tahun lalu.”


”Ini pahala-pahala saya? Lalu bagaimana dengan syurga saya Pak Kiai?”


”Tidak ada, karena Allah sudah membayar semua pekerjaan ibadahmu. Mudah-mudahan kamu bahagia di dunia ini. Dengan tujuh mutiara itu kamu bisa menjadi miliader.”


”Ya Allah, aku tidak mau mutiara-mutiara ini. Lebih baik aku miskin di dunia ini daripada miskin di akhirat nanti. Ya Allah kumpulkan kembali mutiara-mutiara ini dengan amalan ibadah lainnya sampai aku meninggal nanti,” ujar pemuda itu sadar diri. Tujuh mutiara yang berada di depannya itu hilang seketika. Ia berjanji tak akan mengeluh dan menjalani ibadah lebih baik lagi demi kekayaan akhirat kelak."

Allahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar