Selasa, 12 Juni 2012

Dedaunan Kering yang Menguning

Banyak patahan kata terserak terjerembab dalam kubangan lumpur kebodohan. Kecakapan lisan mengungkapkan kata seakan meninggikan sang pelaku pada tingkat tertinggi kebodohan. Kata yang terserak adalah dedaunan pohon ilmu yang menjulang dan menghujam. Mustahil dedaunan kata akan tumbuh dan melimpah tanpa tumbuhnya pepohonan ilmu. Akan 
tetapi, kenapa banyak kita temui dedaunan kata melayang tanpa terikat sedikit pun oleh ranting-ranting pohon ilmu?
    
Dedaunan kering yang menguning dan jatuh terserak, tak selamanya merupakan the end of life atau akhir sebuah kehidupan. Biar pun dedaunan kering dapat berubah menjadi kompos yang menumbuhkan tapi ia bukanlah sang faktor utama tumbuhnya pohon ilmu. Tak ada daun kering yang mampu menumbuhkan sebuah pohon pun. Di mana pun dan sampai kapan pun. Akan tetapi hawa dan kepicikan akal telah menelan bulat-bulat fasihnya dedaunan kata yang melayang tanpa sempat mencerna rasanya yang telah pahit.

 Adalah sunnatullah, putaran kehidupan yang dianut oleh logika manusia, bahwa biji ilmu adalah sebab utama akan tumbuhnya pohon ilmu. Biji-biji yang bertebar dalam buah segar pelepas dahaga. Beratus biji adalah bakal calon tumbuhnya pohon, lalu akankah beratus-ratus biji itu akan tumbuh dan menjulang? Belum lagi proses yang teramat panjang akan dialami sang biji sebelum akhirnya ia benar-benar menjadi pohon dan menghasilkan dedaunan ilmu, buah-buah segar amal dan biji-biji baru, bakal pepohonan baru.

Begitulah seorang da'i dan da'iyah diciptakan, proses panjang untuk menempa diri. Bukan kursus singkat beretorika tak disertai pengorbanan diri membakar dan membentuk ulang diri dalam jalan dakwah terlebih dahulu. Tak ada proses singkat dalam jalan ini, semuanya berproses. Tak akan ada pisau tajam tanpa pengasahan berulang kali, tak akan ada pelaut hebat tanpa samudera deras beserta badai bergemuruh dan tak 'kan ada pohon tinggi, besar dan menjulang tanpa adanya cerabut paksa dan terpaan angin hendak merubuhkan.

Namun ada pula, pepohonan tak sempurna berproses dalam jalan dakwah. Keburukan dan kelemahan yang menjadi watak dasar manusia, tidak lagi terasa asing dalam stigma-stigma tidak manusiawi. Bahkan banyak pepohonan tak sempurna itu justru tumbang sebelum ia berhasil menempa dirinya. Hingga diri ini heran, adakah manusia dengan onderdil sempurna dapat mengalahkan kesempurnaan Maha Sempurna? Lantas, dalam ketidaksempurnaan dirinya ia sungguh berani melabelkan ketidaksempurnaan kepada manusia lain?

Namun, tetaplah dalam sunnatullah, ada pohon-pohon tak sempurna tetap tegak walau terancam goyah dan tumbang. Dalam kerasnya usaha, mendidihnya azzam dan membulatnya keyakinan, ia memangkas senti demi senti pelepah lapuk dan akar-akar yang telah membusuk. Keras dan sungguh keras, namun sayang tak terlihat. Ia tetap tidak sempurna di mata manusia yang tak sempurna.

Lagi-lagi, hampir saja angin topan telah merubuhkannya dan menjadikannya kayu lapuk tak produktif. Tapi Allah tetap meneguhkannya, tanpa menghitung waktu, tanpa menghitung malu dan tanpa memasang riya' hendak nampak. Proses yang demikian panjang menjadikannya pohon teguh berakar tunjang yang amat dalam menghujam dan menghijau lebat biar pun kusam masih sering menjadi cerminnya. Ia tak peduli, sangat tak peduli.

Karena pohon teguh ini merasa belum semampai, belum sempatkan diri hasilkan buah-buah segar dan penyelamat air serta tanah dalam kawasannya. Ya, pohon itu masih akan terus berproses, panjang dan sangat panjang. Layaknya dakwah ini demikian panjang, semenjak kita belum lahir ke dunia kemudian menangis sesak oleh maksiat dan kembali sesak oleh diri yang bermaksiat, dakwah masih akan terus menggelar jalan yang teramat panjang. Begitulah jalan ini, bukan sesingkat dedaunan kering yang begitu mudah melayang oleh tiupan angin perlahan yang teramat mengantukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar