Sahabat, pernahkah engkau merasakan titik nadir kejenuhan
untuk meniti jalan ini? Jalan yang kini tengah engkau dan aku tempuh, jalan
kita masing-masing. Barangkali memang bukan jalan ini yang seharusnya kita
tempuh, jalan yang harus dilalui. Akan tetapi inilah skenario Allah hendak
mengantarkan kita pada gang-gang hikmah baru beserta bangunan baru yang belum
pernah kita saksikan sebelumnya.
Kita
telah di sini, di jalan ini, sehingga mau tidak mau diri harus mengetuk
pintu-pintu asing penghuni bangunan-bangunan asing, bertamu dan berinteraksi
dengan rupa-dialek-budaya berbeda. Kita adalah pengembara yang tengah mencari
arah dan kita butuhkan mereka, orang-orang yang akan memberikan petunjuk di
mana jalan sebenarnya.
Seperti saat menyeberangi sungai, tidak selamanya kita akan
tepat menemukan jembatan untuk berpindah dari satu sisi ke sisi sungai lainnya.
Sedang deras sungai begitu deras dan membahayakan. Adakalanya kita perlu
menyusuri tepi sungai hingga beberapa lama, karena jembatan yang ada pun kadang
terlalu rentan dan berbahaya. Pertanyaannya, berapa lama kita harus berjalan?
Seberapa jauh kaki harus melangkah sebelum menyeberang sungai?
Jawabnya: "semakin deras aliran sungai, maka sejauh itu
pula engkau harus melangkah hingga engkau bertemu muara sungai yang
mengantarkanmu pada lautan".
Apakah kita tengah mengulur waktu demikian lama karena
perjalanan itu? Jawabnya: sama sekali tidak, bukankah sisi kiri dan sisi kanan
adalah sama? Sehingga seberapa lama dan jauhnya kita melangkah di satu sisi
sungai seperti halnya kita tengah di sisi sungai lainnya. Jika aliran sungai
diibaratkan sebuah masalah yang mutlak ada, maka sisi kiri dan kanan sungai
adalah dua buah jalan penyelesaiannya. Sehingga di mana pun sisi kita
berada, sebenarnya kita sama-sama menuju hilir tempat bermuaranya solusi.
Jalan mana yang akan kita pilih adalah sama, karena itu
tetaplah percaya bahwa "setiap ada kesulitan akan ada dua kemudahan
(jalan)". Familiar dengan kalimat ini? Yap, inilah firman Allah dalam
surah Al-Nashr: "فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا, إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا"
"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan, sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
Penggunaan isim ma'rifah الْعُسْرِ menunjukan kata benda (isim) yang telah
tentu yg bermakna "kesulitan itu.." Biarpun kata الْعُسْرِ diulang sebanyak dua kali, pengulangan
ini tetap menunjuk kepada 1 objek kesulitan yang sama sebab telah
tentu. Berbeda dgn penggunaan kata isim nakirah pada يُسْرًا yang bermakna sebarang/tak
tentu sehingga berarti kemudahan. Oleh karena itu, pengulangan kata يُسْرًا akan tetap menunjukan 2
buah objek yang berbeda.
Contoh lainnya: ذَلِكَ بَيْتٌ. اَلْبَيْتُ كَبِيْرٌ. Kalimat tersebut
berarti: "Itu sebuah rumah. Rumah itu baru." Penggunaan
alif-lam pada kalimat kedua mengubah makna arti rumah menjadi tertentu -->
"rumah yang itu" --> rumah yang telah ditunjuk, bermakna
satu. Sehingga, dua ayat di atas dapat kita tafsirkan bahwa setiap ada
satu kesulitan akan ada dua jalan kemudahan.
Maka nikmat Allah yang manakah yang telah kita dustakan?
Allahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar