Dunia
itu berwarna, dan hidup jauh lebih berwarna. Saking berwarnanya, ragam
beda akan kita temukan dalam benturan paradoks yang ada. Hitam dengan
putih, merah dengan biru, hijau dengan ungu dan sebagainya. Dua hal
kontras dan membuat dahi kita mengrenyit. Sadar atau tidak, kita temukan
paradoks itu dalam himpitan sempitnya nalar manusia. Karena luang akan
bertemu sempit, kaya bertemu miskin, sehat bertemu sakit, maju bertemu
mundur, untung bertemu bangkrut dan hidup yang berdampingan dengan mati.
Paradoks itu tentu tidak hanya asal bertabrak tanpa menghasilkan
kombinasi lentur keindahan yang tercipta. Lihat saja langit fajar di
kala pagi, mentari yang baru terbit berbenturan dengan langit hitam
memudar memerah dan jingga. Kemudian berangsur biru saat surya
benar-benar terbitkan dirinya. Bukankah mereka itu paradoks? Tapi, tetap
indah bukan?
Kini, paradoks pun baru saja aku alami. Seperti kemarin,
diri berada dalam hingar bingar pernikahan seorang kawan. Hampir saja
gelegak tawa membahana, tersadar diri ini akan peristiwa yang membuatnya
kembali berpikir. Sehari sebelumnya Allah jawab tanyaku tentang 'siapa'
dan 'di mana' dengan menghambatku turun di stasiun seharusnya sehingga
terpaksa turun pada stasiun berikutnya, lantas Dia temukan aku pada
peristiwa 'kematian'. Kematian seorang siswa SMP karena kecelakan
kereta. Ya, bukan penyebabnya yang penting sehingga aku membahasnya saat
orang-orang menjerit histeris melihat peristiwa itu. Akan tetapi
nasihat 'mati' yang halus menelusup jiwa bahwa ia akan tetap datang
tanpa sebab sekalipun. Ya, setiap dari kita pasti akan mengalami
sakitnya 'kematian'. Paradoks bukan?
Membahas mati
membuat siapapun bergidik, bahwa tiada yang baka di dunia ini. Yang
tengah berbincang pasti akan mati, yang tengah tertidur pun akan mati,
yang bersujud di atas sajadahnya niscaya akan mati begitu pula yang
tengah asyik bermain menggiring bola di lapangan pasti pula akan mati.
Mengerikan. Berarti mati adalah hitam, suram dan menakutkan? Ia adalah
lawan sebuah kehidupan yang mencerminkan perlawanan warna hitam dan
putih? Bukan paradoks warna yang menimbulkan simfoni yang indah?
Ah,
tidak juga kawan. Sesungguhnya mati adalah warna kehidupan layaknya
fase-fase kehidupan yang lain. Putih, merah, hijau, ungu bahkan cokelat
sekalipun dapat saja menjadi warna kematian. Akhir hidup kita adalah
hasil pencampuran cat-cat aneka warna yang kita tumpahkan dalam kanvas
kehidupan. Baik sengaja kau goreskan untuk membentuk suatu bentuk atau
tak sengaja tertumpah bersimbah pada kavas sehingga menutupi lentur
gores warna lainnya. Akhir kanvas adalah kolaborasi tumpahan cat yang
bisa jadi hasilnya menarik meski abstrak atau sempurna, sesempurna
gambaran manusia. Atau bisa jadi aneh bagi siapapun yang melihatnya bak
anak kecil baru memegang pensil.
Seperti kehidupan kita, bukan? Ada kalanya kejadian-kejadian yang
tak pernah diharap terjadi di luar kekuasaan kita. Kejadian yang
menyeret kita pada fase-fase kritis sehingga memaksa diri merubah
haluan sebagai pribadi baru, menjadi insan lebih baik. Atau mungkin
terjerembab pada kondisi yang sangat tidak kita inginkan dan akhirnya
terjadi.
Begitulah kita dan kanvas kehidupan yang tengah kita goreskan,
kini. Mustahil rasanya akan tercipta warna putih tanpa segores warna pun
untuk manusia yang tak pernah berhenti bertingkah. Kecuali bagi mereka
yang baru terlahir untuk membuka kanvas lantas menutupnya kembali, tak
sempat menggores karena dipanggil pulang. Atau bagi orang-orang tertentu
yang diberikan cat putih khusus agar menutup semua noda menjadi kanvas
dengan warna semula.
Apa
warna kanvas kehidupanmu? Jika hijau, kuning, cokelat dan biru yang ku
gunakan, warna apa yang kau gunakan? Hati-hati pula saat cat hitam ada
di tanganmu, jangan sampai ia tertumpah pada lukisa indah yang hampir
sempurna. Tapi coba tempatkan ia untuk menggaris bayang-bayang perpektif
yang mempesona. Hati-hati pula saat engkau mencoba mengaduk, mencampur
beberapa tanpa kira. Bisa jadi, campuranmu akan berubah menjadi hitam
tak keruan dan mau tak mau tetap harus kau goreskan pada kanvas.
Begitu pun tingkah kita, hati-hati mencampuradukan beberapa hal
yang tak jelas kau sebut ia haq maupun bathil, bisa jadi kemungkinan
akhir paduan keduanya adalah kebathilan tanpa dapat ditolerir.
Namun engkau merdeka, insan merdeka! Engkau bebas menentukan warna dasar kanvas mu sesuai bidang yang kau mumpuni di dalamnya. Menjadi pribadi bermanfaat sesuai warna mu, dan penuhi dua tugas utama seorang insan: menghamba dan menjadi khalifah sesuai warna mu pula. Penuhi dengan warna-warna menarik dan goresan penuh makna, yang menunjukan engkau adalah manusia. Bukan manu dan sia-sia. Engkau pengukir peradaban dan penggores generasi.
Kini, peganglah kuasmu dan catmu baik-baik. Pandanglah kanvasmu, dan perhatikan dengan seksama. Gambar apa yang akan kau goreskan di sana? Warna apa yang akan tergores di sana?
Akankah dua gunung perundak dengan satu jalan membelah serta mentari di tengahnya, mentari yang memiliki mata serta bibir? Lantas sawah ada di sisi bawah, terkotak-kotak dalam hitungan ceklist, ditambah burung-burung serta awan-awan berseling layaknya lukisan siswa sekolah dasar? Perpaduan hitam dan putih. Kemudian kau gambarkan rumah dengan satu pohon bak tempat tinggalmu. Engkau gambarkan dirimu sebagai penghuni rumah itu, sendiri tak bertetangga.
Itukah gambaran insan merdeka dengan aneka ragam cat di tangannya? Hidup adalah milikmu, kanvas kehidupanmu ada di tanganmu. Berimajinasilah! Tentukan warna dan goresanmu sekarang juga, karena akhirmu ditentukan oleh perpaduan goresan yang akan tertumpah. Hidup itu berwarna dan seharusnya berwarna, untuk akhir kehidupan yang berwarna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar