Senin, 18 Juni 2012

Hidup itu Berwarna untuk Akhir Kehidupan yang Berwarna pula

Dunia itu berwarna, dan hidup jauh lebih berwarna. Saking berwarnanya, ragam beda akan kita temukan dalam benturan paradoks yang ada. Hitam dengan putih, merah dengan biru, hijau dengan ungu dan sebagainya. Dua hal kontras dan membuat dahi kita mengrenyit. Sadar atau tidak, kita temukan paradoks itu dalam himpitan sempitnya nalar manusia. Karena luang akan bertemu sempit, kaya bertemu miskin, sehat bertemu sakit, maju bertemu mundur, untung bertemu bangkrut dan hidup yang berdampingan dengan mati. Paradoks itu tentu tidak hanya asal bertabrak tanpa menghasilkan kombinasi lentur keindahan yang tercipta. Lihat saja langit fajar di kala pagi, mentari yang baru terbit berbenturan dengan langit hitam memudar memerah dan jingga. Kemudian berangsur biru saat surya benar-benar terbitkan dirinya. Bukankah mereka itu paradoks? Tapi, tetap indah bukan?


Kini, paradoks pun baru saja aku alami. Seperti kemarin, diri berada dalam hingar bingar pernikahan seorang kawan. Hampir saja gelegak tawa membahana, tersadar diri ini akan peristiwa yang membuatnya kembali berpikir. Sehari sebelumnya Allah jawab tanyaku tentang 'siapa' dan 'di mana' dengan menghambatku turun di stasiun seharusnya sehingga terpaksa turun pada stasiun berikutnya, lantas Dia temukan aku pada peristiwa 'kematian'. Kematian seorang siswa SMP karena kecelakan kereta. Ya, bukan penyebabnya yang penting sehingga aku membahasnya saat orang-orang menjerit histeris melihat peristiwa itu. Akan tetapi nasihat 'mati' yang halus menelusup jiwa bahwa ia akan tetap datang tanpa sebab sekalipun. Ya, setiap dari kita pasti akan mengalami sakitnya 'kematian'. Paradoks bukan?

Membahas mati membuat siapapun bergidik, bahwa tiada yang baka di dunia ini. Yang tengah berbincang pasti akan mati, yang tengah tertidur pun akan mati, yang bersujud di atas sajadahnya niscaya akan mati begitu pula yang tengah asyik bermain menggiring bola di lapangan pasti pula akan mati. Mengerikan. Berarti mati adalah hitam, suram dan menakutkan? Ia adalah lawan sebuah kehidupan yang mencerminkan perlawanan warna hitam dan putih? Bukan paradoks warna yang menimbulkan simfoni yang indah?

Ah, tidak juga kawan. Sesungguhnya mati adalah warna kehidupan layaknya fase-fase kehidupan yang lain. Putih, merah, hijau, ungu bahkan cokelat sekalipun dapat saja menjadi warna kematian. Akhir hidup kita adalah hasil pencampuran cat-cat aneka warna yang kita tumpahkan dalam kanvas kehidupan. Baik sengaja kau goreskan untuk membentuk suatu bentuk atau tak sengaja tertumpah bersimbah pada kavas sehingga menutupi lentur gores warna lainnya. Akhir kanvas adalah kolaborasi tumpahan cat yang bisa jadi hasilnya menarik meski abstrak atau sempurna, sesempurna gambaran manusia. Atau bisa jadi aneh bagi siapapun yang melihatnya bak anak kecil baru memegang pensil.

Seperti kehidupan kita, bukan? Ada kalanya kejadian-kejadian yang tak pernah diharap terjadi di luar kekuasaan kita. Kejadian yang menyeret kita pada fase-fase kritis sehingga memaksa diri  merubah haluan sebagai pribadi baru, menjadi insan lebih baik. Atau mungkin terjerembab pada kondisi yang sangat tidak kita inginkan dan akhirnya terjadi.

Begitulah kita dan kanvas kehidupan yang tengah kita goreskan, kini. Mustahil rasanya akan tercipta warna putih tanpa segores warna pun untuk manusia yang tak pernah berhenti bertingkah. Kecuali bagi mereka yang baru terlahir untuk membuka kanvas lantas menutupnya kembali, tak sempat menggores karena dipanggil pulang. Atau bagi orang-orang tertentu yang diberikan cat putih khusus agar menutup semua noda menjadi kanvas dengan warna semula.

Apa warna kanvas kehidupanmu? Jika hijau, kuning, cokelat dan biru yang ku gunakan, warna apa yang kau gunakan? Hati-hati pula saat cat hitam ada di tanganmu, jangan sampai ia tertumpah pada lukisa indah yang hampir sempurna. Tapi coba tempatkan ia untuk menggaris bayang-bayang perpektif yang mempesona. Hati-hati pula saat engkau mencoba mengaduk, mencampur beberapa tanpa kira. Bisa jadi, campuranmu akan berubah menjadi hitam tak keruan dan mau tak mau tetap harus kau goreskan pada kanvas.

Begitu pun tingkah kita, hati-hati mencampuradukan beberapa hal yang tak jelas kau sebut ia haq maupun bathil, bisa jadi kemungkinan akhir paduan keduanya adalah kebathilan tanpa dapat ditolerir.

Namun engkau merdeka, insan merdeka! Engkau bebas menentukan warna dasar kanvas mu sesuai bidang yang kau mumpuni di dalamnya. Menjadi pribadi bermanfaat sesuai warna mu, dan penuhi dua tugas utama seorang insan: menghamba dan menjadi khalifah sesuai warna mu pula. Penuhi dengan warna-warna menarik dan goresan penuh makna, yang menunjukan engkau adalah manusia. Bukan manu dan sia-sia. Engkau pengukir peradaban dan penggores generasi.

Kini, peganglah kuasmu dan catmu baik-baik. Pandanglah kanvasmu, dan perhatikan dengan seksama. Gambar apa yang akan kau goreskan di sana? Warna apa yang akan tergores di sana?
Akankah dua gunung perundak dengan satu jalan membelah serta mentari di tengahnya, mentari yang memiliki mata serta bibir? Lantas sawah ada di sisi bawah, terkotak-kotak dalam hitungan ceklist, ditambah burung-burung serta awan-awan berseling layaknya lukisan siswa sekolah dasar? Perpaduan hitam dan putih. Kemudian kau gambarkan rumah dengan satu pohon bak tempat tinggalmu. Engkau gambarkan dirimu sebagai penghuni rumah itu, sendiri tak bertetangga.
Itukah gambaran insan merdeka dengan aneka ragam cat di tangannya? Hidup adalah milikmu, kanvas kehidupanmu ada di tanganmu. Berimajinasilah! Tentukan warna dan goresanmu sekarang juga, karena akhirmu ditentukan oleh perpaduan goresan yang akan tertumpah. Hidup itu berwarna dan seharusnya berwarna, untuk akhir kehidupan yang berwarna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar