Jumat, 23 Mei 2014

Tentang Cinta dan Kerinduan

Ah, saya tak berniat menuliskan buliran huruf sendu yang mengelu-elukan sosok pendamping, sahabat. Tapi, saya hanya ingin berbagi sebuah tanya tentang hal ini. Di usia kepala dua, adalah wajar seorang wanita (termasuk saya) mulai dilirik untuk  diperbincangkan masa depannya. Pengkerucutan itu berfokus soal pernikahan dan keluarga. Dengan siapakah dia menikah dan bagaimana keluarganya nanti? Dan ternyata, bukan hanya wanita. Pasangannya bernama laki-laki pun turut diperbincangkan. Untuk ini, bertambah objek perbincangan itu dengan kesanggupan finansial dan kepemimpinan.

Sahabat, ada yang membuatku bingung. Bukankah menikah adalah soal alur bukan akhir destinasi kehidupan? Mengapa banyak pemuda dan pemudi usia tanggung begitu mengelu-elukan prosesi ini? Mencari-cari sosok yang akan menemaninya kelak pada wajah-wajah sahabat, rekan, karib dan yang berseliweran di dunia maya? Menggadaikan keyakinan pada sesuatu tak pasti, layaknya judi dan mengundi masa depan. Terlebih, jika ia adalah pemuda dan pemudi yang melabelkan diri sebagai Aktivis Dakwah. Ataukah saya salah?


Jika menikah itu destinasi, bagaimana dengan mati? Bukankah lebih layak kita mengelu-elukan atau pantasnya mendambakan sebuah keadaan kematian? Bukankah begitu indahnya merindukan syahid di medan laga tenimbang kebahagiaan yang dipandang orang? Bukankah begitu indah merindukan syahid di antara peluh pengabdian tenimbang mendambakan sosok paripurna? Terkadang, kita sering disibukan dengan sosok dan melabelkan ia dengan kriteria segudang. Tapi lupa, bukankah kriteria itu melekat para diri muslim dan muslimah. Ataukah saya salah?

Menikah bukan soal dua orang, mengutip kata orang, ia adalah bagian dari peradaban. Bahkan ia adalah peretas peradaban penuh carut saat ini membentuk peradaban Islam generasi Shahabat, Tabi'in dan Tabi'at. Banyak orang bilang, bukan saatnya mencari yang baik akan tetapi memantaskan diri menjadi lebih baik. Niscaya yang baik akan bertemu dengan yang baik. Tapi, sahabat, bukankah perubahan kebaikan seharusnya dan memang seharusnya hanya karena Allah bukan karena si dia yang entah siapa? Lupakah kita tentang kisah muhajir Umi Qais? Lelaki itu berhijrah kerana Ummu Qais. Ah, duhai. Ataukah saya salah?

Bukan bermaksud acuh, tetapi bukankah kita memang seringkali lupa? Ini tentang kerinduan, sahabat. Rindu itu bermuara pada kebaikan. Keluarga bahagia pun adalah kerinduan, pun bertemu denganmu, saudaraku, adalah kerinduan. Rindu itu bermula dari perbaikan diri, keluarga dan masyarakat. Ia terus mengudara dengan makna manfaat dan keilmuan, dan terus mengudara bersama ketauladanan. Rindu itu masih terus mengudara lebih tinggi mengenali atmosfir bernama cinta. Cinta yang agung nan suci, karena itu ia butuh evaporasi. Layaknya air laut nan asin dapat kembali jernih. Ia mengudara dan terus mengudara menemui Sang Pemilik langit dan bumi.

Bukankah rindu itu sangat mengasyikan, sahabat? Jujur, saya belum memiliki definisi yang tepat untuk kata cinta. Sampai sejauh ini, belum kutemukan kecintaan pada Rabbku sebagaimana Rasulku mencintai-Nya dan Dia mencintainya. Belum kutemukan kecintaan yang tulus kepada Rasulku sebagaimana Abu Bakar dan Umar mencintainya, dan ia mencintai mereka. Yang ku tahu, hanyalah upaya. Karena kita, sedang berupaya dan masih terus berupaya untuk mencintainya. Pun cinta kepada orang tua yang masih terus diupayakan.
Karena cinta itu akan berbuah pengorbanan harta, jiwa dan raga. Sudah siapkah aku mati sekarang demi Allah Rabbul 'Izzati? Lantas, mengapa aku sibukan diri tentang bias cinta yang lain?
Ah, sahabat. Tiba-tiba takut itu menghampiri. Adakah aku termasuk golongan khawarij yang sibuk merasa diri paling benar dan menuduh saudaraku bersalah? Adakah aku sibuk dengan ibadah namun kosong tak berilmu? Adakah aku terlalu banyak bicara tapi kian tak bermakna? Adakah Rasulullah mengakui sebagai umatnya? Cetaarr..

Rabbanaa zhalamnaa anfusana wainlam taghfirlanaa walakunanna minal khosiriiin.. Aamiiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar