Minggu, 04 Agustus 2013

Engkaulah Sumayyah!

Begitu ngilu hati ini. Berulang kali kabar tentangmu mengirisnya. Bukan dengan potongan tajam, tapi irisan pisau berkarat nan mengoyak. Ah, sungguh. Pasukan laki-laki berbaju oranye tanpa rambut di kepala, seakan monster pemakan darah, daging dan kehormatan. Rumah luluh lantak, leher dikoyak, jasad dibakar, bayi-bayi dibelah. Pedang-pedang melayang, tongkat-tongkat menghantam dan kobaran amarah api membakar. Darah dibiarkan mengalir atas ketidakberdayaan. Bagaimana mungkin akan melawan, jika akses pendidikan-kewarganegaraan-pengakuan-hak hidup-persenjataan-demografi semua dilanggar?

Wahai!
Entah bagaimana rasanya menjadi dirimu, Sumayyah.Rumahmu luluh lantak, masjidmu hilang tak berjejak.
Entah bagaimana rasanya menjadi dirimu, Sumayyah.Di hadapanmu, anak-suami dan keluargamu dibunuh tak bersisa.
Entah bagaimana rasanya menjadi dirimu, Sumayyah.Bayi-bayi mungilmu dibiarkan terbelah, mengalirkan darah di atas pedang tertanam.
Entah bagaimana rasanya menjadi dirimu, Sumayyah. Tangan keriputmu melepas buah hati mengambang di atas samudera. 
Entah bagaimana rasanya menjadi dirimu, Sumayyah. Kehormatanmu tergadai!

Wajah-wajah pias itu memenuhi perahu seadanya, melintasi samudera ke mana angin mengarak. Bangladesh, Thailand, Malaysia atau Australia. Meski, kemerdekaan kembali tergadai oleh manusia sangar lainnya. Berdesak, berkerumun di ombang ombak. Kadang berdiri, kadang jongkok bergantian. Saat perahu menepi entah dimana, jiwa-jiwa gigih kembali dipertaruhkan. Manusia berseragam telah siap menerkam, menjarah makanan dan melenyapkan bekal.

Berjemur matahari beberapa hari tanpa sesuap apapun. Tubuh-tubuh ringkihmu dilepas ke tengah samudera. Biar kematian menjemput bersama deburan ombak menenggelamkan. Atau gemuruh peluru melubangi tubuh. Dan engkau siap, jika sesuatu jatuh dari langit menghantam perahu dan meledakanmu. Sungguh tak nampak lagi bagiku rasa sebagai manusia. Sungguh, serigala nampak lebih mulia dibanding mereka. Karena mereka tak akan pernah menerkam sesamanya!

Maka, saat tubuh semakin ringkih mengapung pasrah di pantai Indonesia. Negara antah berantah yang tak pernah mampir di kamus hidupmu. Maka, saat tubuh itu semakin pulih dan siap dikembalikan, engkau mengadu. Engkau memohon dan engkau terisak: "biarlah aku mati di sini, bukan di negeriku sendiri."


Meski jumlahmu yang semakin langka di dunia. Habis oleh amuk manusia-manusia oranye tak berambut di kepalanya. Engkau tak ingin, jiwamu raib sia-sia di tangan manusia. Engkau tak ingin, ragamu dikoyak tangan tak layak. Engkau tak ingin, saudara setanahmu membencimu selamanya. Engkau dan keimananmu yang tak pernah goyah, wahai Sumayyah.

Mungkin, Allah hendak menyuburkan tanahmu, Sumayyah. Mengalirlah darah-darah para syuhada.
Mungkin, Allah hendak meneguhkan agamamu, Sumayyah. Cabikan perih itu tak pernah menggoyahkan iman di dada.
Mungkin, Allah hendak menguji iman kami, Sumayyah. Adakah ukhuwah berarti di sana?
Mungkin, Allah hendak menjagamu, Sumayyah. Akan lahir penerus Shalahuddin dan Fatih dari rahim yang sempurna.

Wahai saudari-saudariku, muslimah Rohingya!
Ingin aku berlari memelukmu, menciummu wahai keluarga syuhada!
Pemilik rahim mujahid dan mujahidah.
Engkaulah Sumayyah! Engkau penerus keluarga Yasir yang mulia!

Wahai saudari-saudariku, wanita muslimah Rohingya!
Ingin aku mencium harumnya anyir darah yang mengantarmu ke surga.
Mengantar jiwa-jiwa gigih demi keimanannya!
Engkaulah Sumayyah! Engkau wanita shalihah!

Wahai saudari-saudariku, wanita muslimah Rohingya!
Ingin aku mengangkat senjata!
Melepas dunia, menyambut Allah dengan senyum sempurna.
Engkaulah Sumayyah! Namamu senantiasa terekam sepanjang sejarah!


Sabarlah saudariku, muslimah Rohingya. Meski raga tercabik terbunuh, tapi jiwamu abadi di sana.

Sabarlah keluarga Yasir, muslimah Rohingya. Darahmu adalah pelita keimanan. Engkau wanita shalihah.

Duniamu penuh dengan darah, isak dan amarah. Tapi, tak pernah ku dengar ada padamu rela menukar agama demi selamatkan raga.

Sabarlah Sumayyah, muslimah Rohingya. Sungguh, engkaulah wanita terbaik sepanjang zaman.

Duniamu penuh dengan benci dan kekejian. Tapi, tak pernah ku dengar ada dendam mengobar 'tuk balaskan amarah.
Duniamu penuh ambang dunia tanpa suara. Tapi, tak pernah ku dengar engkau menyerah pada seonggok manusia setelah mengapung di samudera!


Engkau telah melepas anak dan suamimu menuju peraduan-Nya. Engkau pun bersiap menyusulnya. Engkaulah Sumayyah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar