Selama ini, aku hidup dalam keadaan aman dan sentausa. Tak
ada keributan dan huru hara. Pagi hari, kehangatan surya ku rasakan dengan
bahagia. Bahkan terkadang, aku masih saja tergoda nyamannya pembaringan. Apalagi
jika mendung menyapaku di awal pagi. Mandi, sarapan dan bersiap-siap. Tak membekas apapun pada ingatanku, apakah fajar terlewat terbit dan baru ku dirikan. Bukan telat membangunkan diri, tapi tak bergegas menemui-Nya. Dan itu telah biasa kulakukan. Maka, jangan tanya aku apakah aku shalat malam atau tidak hari ini. Tapi, raga akan bergegas menyambut hari dengan rutinitas.
Menjelang siang, aku pergi menuntut ilmu. Sebagian waktu bekerja,
selebihnya asyik bermain dan bercanda. Musik menemani hari-hariku, seakan
bersajak adalah hidup itu sendiri. Sampai-sampai, aku menduakan bahwa menigakan
Dia. Jangankan mendirikan shalat sebelum terik hadir, aku pun kewalahan menjaga
awal shalat yang mulia. Siang pun pertanda makan siang dihidangkan. Nampaknya, lezatnya makanan begitu ampuh merobohkan pertahananku untuk sekedar sehari berpuasa. Ajakan teman terasa berat ditinggalkan. Rasanya, jika tidak ada Ramadhan, aku tak akan pernah berpuasa.
Malam telah tiba sejak tadi. Biasanya, aku menghabiskan
malam dengan hiburan. Menghabiskan malam dengan tayangan lelucon atau
bersenandung sebelum tidur. Jangankan membaca selembar dua lembar mushaf, memegangnya saja aku tak sempat. Aku sibuk. Hingga mata tak juga berpejam, menatap layar mini atau layar besar nan canggih. Dengan dalih silaturahmi, aku terus mengobrol dengan dia dia yang jauh disana. Betapa canggihnya, mengubah jauh terasa dekat dan dekat menjadi jauh. Aku punya privasi, maka aku tak banyak berbagi kecuali berkicau di beranda media sosial. Malam telag laut, betapa tak bisa ku lepas tangan mengenggamnya. Maka jangan tanya aku kapan aku bangun untuk shalat malam. Tak tertinggal fajar esok hari saja aku sudah untung.
Duhai, inikah aku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar