Jumat, 09 Agustus 2013

Skizofernia?

Ba'da lebaran, penasaran dengan sebuah film berjudul: "Beautiful Mind". Yang rupanya, adaptasi sebuah buku berjudul, Beautiful Mind, The Life of Mathematical Genius and Nobel Laureate John 
Nash.

Berkisah tentang professor matematika sekaligus penerima nobel, John Nash. Dibalik kecermelangannya, ia mengidap Skizofernia. Dulu, sewaktu kecil, John Junior berpikir bahwa ada ancaman bom yang akan meledakan rel kereta api. Penyakit dengan gejala, bahwa sang penderita memiliki dunianya sendiri dan tidak dapat membedakan dengan kenyataan. Halusinasi dan waham istilahnya. Lalu, apa bedanya dengan Autisme? Masih dengan petik katanya, penyakit autisma pun memiliki dunianya sendiri, bukan? Ignore it, karena ini artinya sebuah tugas baru: mempelajari skizofernia dan autisma



Ada yang membuat saya tertarik, sebuah ulasan bahwa ada rasa kebanggaan hebat yang diidap oleh penderita skizofernia. Kebanggaan ini yang membuatnya cukup angkuh dan merasa that i am the only man. Karena kebanggaan inilah, ia membuat sebuah dunia yang mengancam tatkala ada seorang dua orang mengungguli kemampuannya. Terlebih mengalahkannya dalam kompetisi. Dan, interaksi sosialnya cukup buruk. Karena dia akan menarik diri dari lingkungan dan sangat tertutup. Hm.. 

Tiba-tiba iseng saya berpikir, apakah dulu saya mengidap skizofernia? Aish, kalau saya mengidap skizofernia, berarti sampai sekarang belum sembuh, ya? ^-*
Apakah karena kebanggaan akan diri terlampau tinggi penyebabnya? Atau karena minimnya penghargaan akan dirinya? Atau alasan fisik, cedera otak misalnya? Hm.. Masih menjadi tanya besar. Benarkah hingga saat ini, skizofernia belum dapat disembuhkan? 

Akhir tahun lalu, di rumah yang disemai tilawah Quran di seluruh penjurunya, seorang saudari mengabarkan bahwa temannya mengidap skizofernia. Mahasiswi baru di departemen Psikologi ini mengatakan, temannya menunjukan gelagat aneh akhir-akhir ini. Mencoret-coret kertas seperti berteriak, membuat bulatan-bulatan tidak jelas dan menuliskan huruf-huruf yang saya sendiri tidak mengerti apa. Termasuk bagaimana caranya bisa tahu bahwa ia bertindak aneh? Usut punya usut, dia sedang tidak memiliki uang dan beberapa hari tidak makan. Bahkan, tong sampah ia korek untuk mendapat makanan. Aneh, bukan karena tindakannya yang dianggap bodoh. Tapi, bukankah kita berteman sehingga dapat saling membantu? Itulah anehnya.

Sang teman bukanlah lahir dari keluarga tidak mampu. Ia bisa dikategorikan sebagai anak berkecukupan yang broken home. Beberapa waktu sebelumnya, ayah dan ibunya berpisah dan ia diacuhkan. Mungkin, alasan ini bisa dijadikan klarifikasi tentang apa penyebabnya? Hebatnya, saudari saya nan muda ini dapat membaca gejala dan menyelesaikan persoalan. Ia dapat bergerak cepat, berkonsultasi dengan dosen. Pada akhirnya menghasilkan hipotesa: kemungkinan skizofernia. Alhamdulillah, sang teman dapat dibawa ke Psikiater dan dibantu keadaannya. Sedang ada upaya berdiplomasi kepada keluarga.

Tapi, masih menjadi tanya bagi saya, apa itu Szikofernia dan mengapa hal itu dapat terjadi? Pertanyaan paling penting, apa solusinya? Sejauh dari ulasan yang saya baca, selain terapi ini itu dan menelan pil secara konsisten, keluarga dan lingkungannya diharapkan dapat menerima keberadaanya. Dalam bentuk penghargaan dan keterbukaan, sahabat. Tapi, masih ada kata tapi dan tapi. Pertanyaan masih terus bergulir.
Adzan berkumandang. Allah memanggil para hambanya, yang memiliki kecintaan terhadap-Nya jauh melebihi kecintaan apa yang ada ditangannya.
Saya sudahi ya, sahabat. Di kemudian hari, mari membuka lembar buku lebih banyak, bertanya kepada orang tepat dan melangkah untuk terus belajar. Dan, menambah kuota kecintaan kepada Al-Quran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar