Senin, 05 Agustus 2013

Tentang Kata Salah

Alhamdulillah, malam ini kembali berkesempatan menuliskan kata-kata yang belum terangkai makna. Alhamdulillah, malam ini pun saya kembali menikmati kaki-kaki melangkah. Berkesempatan bertemu orang-orang lain, dengan kata lain bersilaturahim untuk memperpanjang makna usia. Melapangkan rezeki serta merangkum makna. Yah, perjalanan adalah pengisian kantung-kantung hikmah.

Salah adalah ciri khas manusia ya, sahabat. Adakah dari kita luput dari sekali salah setahun ini? Barangkali tidak, ya. Kalau begitu, kita kerucutkan dalam sebulan. Adakah kita yang bersih dari salah? Ah, mustahil. Bagaimana dalam seminggu? Adakah? Hm..masih kemungkinan tidak juga, ya? Bagaimana jika sehari? Hm..ada kemungkinan, tapi sepertinya tidak juga, ya. Bagaimana jika dalam hitungan jam, menit atau detik? Sepertinya, tetap saja kita bisa menghindari salah, ya?

Apa saja yang tidak dilakukan dengan semestinya adalah kesalahan bagi orang yang melakukannya. Yang menjadikan orang di sekitarnya tidak senang, pun rasanya kesalahan. Berbohong itu salah, mencuri itu salah. Terlambat itu salah, berisik itu salah. Tapi, kadang bohong itu dibenarkan dan mencuri itu tak dapat disalahkan. Kadang, terlambat itu dimaafkan dan berisik itu dibiarkan. Nampaknya salah itu memiliki subjektivitasnya sendiri, ya. Tergantung apa. Karena 'salah' ternyata tak punya rumus pasti, yang menjadikan kita resmi menjadi terdakwa.

Jika kita menjadi orang yang berbuat salah, adalah wajar timbul rasa takut karena bersalah. Adalah wajar, timbul rasa malu karena bersalah. Pun wajar, karena berani karena, takut karena salah. Pun wajar, sebab malu cabang dari keimanan. Mungkin wajar, jika ia yang bersalah mengeluh karena orang yang mempermasalahkannya tak kunjung usai. Mungkin pula wajar, jika ia yang bersalah tak terima atas keangkuhan orang di hadapannya. Tapi, suatu saat jika tempat itu dibalik. Ia akan berlaku serupa pada orang yang salah. Ah, sungguh ironi.

Saya kira, kita sering kali berlebihan untuk mengekspresikan punishment bagi mereka yang melakukan salah. Bukankah buang-buang energi saat melihat seseorang tersandung dan menabrak kita, lantas kita marah? Bukankah buang-buang energi saat kita melempar barang atau membanting pintu untuk ekspresi kecewa? Bukankah bisa jadi ekspresi itu pun kesalahan bagi yang lainnya? Ah, rumit.

Saya kira, kita sering kali terkecoh wacana. Yah, mencuri itu salah dan berhak dihukum atas kesalahannya. Tapi, jika ia  mencuri karena lapar lantas kita sama menghukuminya. Bukankah kita yang salah? Mengapa tak tanggap dengan terdekatnya?

Saya kira, kita sering kali terkecoh suasana. Siapapun akan terhibur oleh rekan yang pandai berhumor, dan ia layak mendapat penghargaan. Tapi, akankah tetap dibenarkan jika ia membuat lelucon kebohongan dan membawa kata-kata tak pantas dalam berhumor?

Saya kira, kita seringkali terhisap ambisi. Meledak dahsyat amarah saat percik api belum sempat membakar dedaunan. Tapi, kita lupa meledak pada api-api besar yang membakar. Mengapa ledakan ekspresi itu seringkali salah preposisi? Ah, apakah aku yang salah?

Mengalun irama yang mengingatkanku pada detik-detik kematian sang Baginda Rasulillah. Mengalun lirik penghargaan tertinggi padanya, shalawatullahh 'alaika ya Rasulillah.

Duhai utusan, semoga kita dapat berjumpa dapat satu kebun bernama Firdaus, kelak. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar