Senin, 26 Agustus 2013

Bait Asy-Syirkah

Masjid Bait Asy-Syirkah
Ini tentang masjid di perumahan tempatku tinggal. Masjid Baitusy Syirkah namanya. Tentang pemakaian nama, aku kira itu berkat tokoh di wilayahku dulu. Kami adalah para pedagang olahan kedelai yang berserikat di bawah naungan koperasi. Maka tak heran, "Bait Asy-Syirkah" menjadi nama masjid kami. Masjid yang sudah beberapa kali dipugar dengan swadaya alias kantong kami sendiri. Bermula dari aula kecil yang kami sebut 'langgar' kini berkembang menjadi masjid cukup besar dengan dua lantai. Bisa dibilang, 80% sudah jadi.

Entah dimulai sejak kapan kecintaan itu muncul. Kecintaan yang bisa jadi hadir karena kesenangan menjelajah. Memasuki wilayah baru dan bertemu orang baru. Agar tak tabzir, sekaligus menjelajah masjid dan mushala di tempat baru itu. Biar perjalanan tak hanya mematangkan jiwa, tapi juga memperbaharui iman. Banyak masjid dikunjungi, sekadar merehatkan diri dengan rukuk dan sujud. Atau menambah pundi ilmu di majelis kajian. Hingga hadir rasa malu, bagaimana dengan kabar masjid di rumahku?

Malu kembali muncul, aih..siapakah aku? Nampak bak orang asing di wilayahku sendiri. Mungkin ini yang disebut kacang yang lupa kulitnya. Lupa pada tanah yang membesarkannya. Betapa harus ku syukuri, aku hidup dan besar di wilayah yang sangat dekat dengan masjid. Pertanda orang tuaku telah memenuhi salah satu tugasnya, membesarkan dan menanamkan cinta pada masjid.

Memulai untuk membiasakan diri shalat di masjid ini, meski bukanlah 'kewajiban' bagi muslimah. Tapi bagiku, jika masjid belum hadir dalam shalat jama'ah di rumah. Bukankah lebih baik, jika semua anggota keluarganya jama'ah di masjid?

Kami adalah keluarga pedagang yang bekerja 24 jam. Bagaimana tidak, laki-laki di tempat kami telah sibuk menyiapkan dagangan dan bersiap berangkat ke pasar pada kisaran jam 1-4 malam. Hanya sebagian yang berangkat setelah shubuh berkumandang. Sebab, sedikit saja telat, kami kehilangan pelanggan. Menaiki sepeda motor dengan beban banyak atau mobil/pick up mengangkut dagangan. Beranjak siang hingga terik, tulang punggung keluarga ini pulang dan beristirahat. Dzuhur usai, waktunya mengolah kedelai. Ada juga yang sibuk dengan pekerjaan lainnya. Sedang sebagian besar kami, awam akan agama yang dianutnya.

Dan, kegembiraan hadir saat adzan di malam hari tiba. Meski sibuk mengolah kedelai, masjid kami ramai di waktu shubuh, isya' dan maghrib. Setidaknya, jika dibandingkan waktu dulu. Tak hanya bapak dan sepuh, masjid kami ramai anak-anak dan remaja muda. Dengan pakaian terbaik, membentuk shaf-shaf mengikuti imam. Jika dihitung, ada lima hingga enam shaff penuh di barisan laki-laki saat maghrib tiba. Jika satu shaff lebih dari 30 orang, maka cukup ramai masjid kami. Belum termasuk dengan shaff wanita, tiga baris dengan 12 orang per shaffnya. Jangan bandingkan dengan masjid Jogokariyan di Jogja sana. Alhamdulillah, bagi kami hal ini cukup banyak karena berkumpul lebih dari 200 orang total jumlah kami yang mencapai 734 KK.

Di masjid kami, mencium tangan seakan menjadi agenda wajib seusai shalat. Anak-anak perempuan akan berkeliling mencium tangan seluruh jamaah wanita sebelum mereka pulang. Untuk laki-laki, banyak yang menunggu sampai imam selesai berdoa dan saling bermaafan mengitari. Semua bak tunduk dan patuh. Apalagi jika aku melihat anak kecil dengan mukenah mininya atau dengan sarungnya yang kebesaran. Lucunya.

Ah, terbayang impian. Meramaikan ia dengan muda-mudi penjaga Al-Quran. Terbesit, aku ingin tinggal di sini lebih lama, berjama'ah shubuh, maghrib dan isya'. Mengajar anak-anak, betapa pun sibuknya siang menyita waktuku. Teringat kembali sebuah mimpi, mewujudkan "Kampung Dinar" dimana aku dibesarkan, maka disana juga aku akan membesarkannya. Duhai Rabbi, yassirli..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar