Minggu, 11 Agustus 2013

Tentang Tanya dan Kesoktahuan

Tanya itu selalu memenuhi, apa dan bagaimana. Dan, seringkali Allah temukan aku dengan sebuah sumber inspirasi. Apakah penasaran saya terobati? Belum juga ternyata, sobats. Masih ada banyak tanya, di mana derajatnya di balik kabung asap nan abstrak. Karena tanya itu masih mengudara bersama deretan huruf dan angka, acak dan belum membuat pola apapun. Jadi, apa yang harus aku tanya?

Kata Bang Tere, bacalah 10 buku, 50 buku, 100 buku dan 1000 buku. Sudahkah aku temukan jawabannya? Sepertinya tidak dan jua tidak. Mengapa? Karena semakin bertambah deret huruf yang dibaca semakin bertambah deret tanya tersebut. Akan tetapi, setidaknya kesoktahuan itu akan jauh berkurang. Di mana aplikasi padi merunduk itu ada dalam nadi-nadi pemuda dan pemudi yang terus belajar.
Saya akui. Saya ini masih sok tahu dengan terbatasnya buku yang dibaca. Saya ini masih sok tahu dengan mudanya pengalaman. Saya ini masih sok tahu dengan terbatasnya amal.

Dan, ternyata beban itu bersama orang-orang yang berilmu. Belajar dan mengajar adalah asas kausalitas yang tak terbantahkan. Mengajarkan ilmu meski seayat adalah bak orang bersedekah dengan dirhamnya. Ia akan berkembang sebanyak yang Allah kehendaki, dua kali, sepuluh kali, seratus kali, tujuh ratus kali, hingga tak terhingga. Lalu, dimanakah selama ini ilmu-ilmu nan sedikit itu menguap? Olala, adakah aku berbuat kaburo maktan kali ini?

Teringat kisah para shahabah, memencar setelah iman telah dipatrikan. Fantasyiru fil 'ardh untuk membumikan Islam yang mulia. Mengajar satu dua ayat, menyampaikan satu dua hadits pada rekan, sahabat dan utamanya, keluarga. Hanya satu dua ayat, hanya satu dua hadits. Bukan maruk seperti kita yang selalu menginginkan lebih. Mereka, para shahabah dengan kemuliaan imannya, akan menolak menambah hafalan. Mengapa? Terlampau berat, ya, terlampau berat apa yang hendak mereka ajarkan kembali kepada yang lainnya.
Entah bagaimana Rasululllah itu mengajar, hingga ajarannya begitu kuat mengakar. Entah bagaimana Rasulullah itu mencontohkan, hingga pengamalannya begitu luar biasa. 
Bagaimana jika saya tak mengajarkan? Samalah nasibnya dengan mereka yang tak menginfak sedang harta dan pangan tertimbun tak guna. Duhai. Mungkin sebab itulah saya menulis, sahabat. Berbagi ya, hanya sekedar berbagi. Bukan untuk menggurui, dengan kesoktahuan saya, mana pantas saya menjadi guru dengan gelar ustadzah yang maha berat itu? Saya hanya berharap, kesoktahuan itu dapat tertuai dalam buliran huruf yang berguna, meski kini masih sekedar berbagi curhatan yang belum berguna. Semoga nanti.

Merenungi hadis Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam: (Saya mengutipnya dari tulisan Kang Fauzil Adhim. Beliau menolak disebut ustadz, apalagi saya?)
 إِنَّكُمْ أَصْبَحْتُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيْرٍ فُقَهَاؤُهُ، قَلِيْلٍ خُطَبَاؤُهُ، قَلِيْلٍ سُؤَّالُهُ، كَثِيْرٍ مُعْطُوهُ، الْعَمَلُ فِيْهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ. وَسَيَأْتِي زَمَانٌ قَلِيْلٌ فُقَهَاؤُهُ، كَثِيْرٌ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيْرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيْلٌ مُعْطُوهُ،الْعِلْمُ فِيْهِ خَيْرٌمِنَ الْعَمَلِ
“Sesungguhnya kalian hidup di zaman yang fuqahanya (ulama) banyak dan penceramahnya sedikit, sedikit yang minta-minta dan banyak yang memberi, beramal pada waktu itu lebih baik dari berilmu. Dan akan datang suatu zaman yang ulamanya sedikit dan penceramahnya banyak, peminta-minta banyak dan yang memberi sedikit, berilmu pada waktu itu lebih baik dari beramal.” (HR. Ath-Thabrani).
Sengaja, saya tebalkan akhir hadits di atas. Itulah zaman kita, sahabat. Zaman yang beradu putih dan hitam mebentang sekelebat area abu-abu. Hingga sukar lagi tampak mana yang haq dan bathil. Bukan karena tiada lagi acuan. Namun, hampir tiada orang yang benar-benar menerapkan acuannya. Al-Mubayyan, Al-Quran dan Sunah Rasulillah. Banyak yang berkoar mendukung dan membuat gerakan semacamnya, namun yang sibuk mengamalkan diam tersembunyi.


Lalu buliran hurif itu terukir, 

Bukan karena lebih tahu, aku berbagi. Pun bukan karena lebih baik. Hanya saja, lebih dulu ia datang menemuiku. Kini, ku ajak ia menemuimu, duhai sahabat. Semoga dan semoga, kita selalu belajar dan mengajar, serta menarik hikmah sebanyak dan sebanyak mungkin. Karena itulah hakmu dan juga hak-ku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar