Sabtu, 10 Agustus 2013

Siti Komariah, Pendarmu Cahaya Rembulan

Siang ini, kecerahannya membawa ingatan hangatku padanya. Sahabatku sewaktu SMA dulu. Sahabat yang membawa pendar cahaya rembulan sama seperti namanya, Siti Komariah. Dulu, sewaktu tak ketemui sahabat kala perjuangan 'jilbab' di kalangan terdekat bernama keluarga. Dulu, sewaktu ku temukan kebersamaan bersama Al-Quran yang menemani hari-hari. Hingga ku ikrarkan doa, "Rabb jadikanlah jilbab dan Al-Quran ini menjadi sahabat terbaikku hatta jannah."

Dan, kau hadir wahai saudari. Kau menemani setiap muroja'ahku saat penat hadir di kelas yang bising. Kau menemaniku menghafal meski kau malu merayu, bahwa engkau belum bisa menyamai. Ah, senyum manismu itu tulus wahai saudari.


Ingat kau, ingatkan aku akan adumu. Iya, kau mengadu di serambi masjid sekolah kita dulu. Tentang keluargamu, tentang kakak perempuanmu, tentang adik dan ibumu dan tentang pekerjaan ayahmu. Duhai beningnya cintamu, wahai saudari. 



Ingat kau, ingatkan aku akan marahmu. Ternyata kau marah jika aku mengungkit usia di saat tawa waktu itu. Kau diam dan pergi meninggalkan kami. Padahal tak sedikit pun aku berniat menyinggungmu. Esoknya, engkau jujur dan memohon maaf. Duhai, saudari. Aku yang seharusnya memohon maaf.

Ingat kau, ingatkan aku tentang cita-citamu yang sederhana. Agar sang kakak istiqomah berjilbab, adikmu rajin mendirikan shalat, ibumu pandai mengaji dan ayahmu mendapat pekerjaan yang membuatmu tenang akannya. Pun cita-citamu melanjutkan kuliah. Kau ingin masuk salah satu instansi bebas biaya, karena kau tahu, keluargamu tak mampu meski membeli formulirnya saja.


Ingat kau, ingatkan aku tentang cerita ibumu, wahai saudari. Tentang arti kecintaan ibadah, keteguhan menjaga prinsip meski tak kau mengerti istilahnya. Adzan pertanda segera didirikan shalat, apapun tugas yang ada di tanganmu. Itulah engkau, saudari. Kebaikan adalah perbuatan dan disampaikan. Itulah engkau, saudari. Kejujuran adalah buah amal shaleh. Itulah engkau, saudari. Dan cintamu kepada keluargamu adalah menyisihkan makanan lezat yang ada di tanganmu. Itulah engkau, saudari.


Ingat kau, ingatkan aku tentang siang beranjak sore saat berjalan bersama denganmu. Aku memaksamu untuk berkunjung dan berjalan seperti biasanya engkau berjalan. Meski engkau berulang kali memastikan bahwa rute yang ditempuh cukup jauh. Tapi, bukankah ini usaha yang menambah nilaimu di mata-Nya, wahai thalibul 'ilmi? Kau bercerita banyak, wahai saudari. Sepanjang jalan adalah wisataku untuk mengenal Dia dengan mengenal engkau dan keluargamu. Pun mengenal tetanggamu, orang-orang terdekatmu.


Engkau bercerita kakak kelas tetanggamu yang pengusaha donat itu. Kau bilang, ingin sekali menjajakan donatnya ke sekolah dan hasilnya ditabung sebagai bekal kuliah. Atau setidaknya, ia dapat memberikanmu sebuah formulir yang harganya melangit bagi keluargamu.


Ingat kau, ingatkan aku akan laku sandiwara kelas waktu itu. Kau dengan keluguanmu memainkan peran yang seharusnya milikku. Kau menjadi anak berandal! Sungguh, lakumu membuat tawa bagi kami semua. Adakah kami yang percaya bahwa kau bisa memerankannya?


Ingat kau, ingatkan aku akan beberapa hari engkau absen yang membuat kami curiga. Adakah terjadi sesuatu padamu? Dan, tubuh lemahmu terbaring menguning. Aku dengan semangat mengabarkan tentang beasiswa, kau malah mengadu. Keluhanmu yang pertama dan yang terakhir, saudari. Begitu tak lekang dari ingatan, mata sayu nan menguning itu menatapku. Terpaksa, bibir itu mengeluh.

"Siti sudah tidak kuat, us."
Ada sesal di sana. Andai aku tak terikat janji kala itu, mungkin aku bisa menemanimu mendapatkan pengobatan. Bersama kawan sekelas kita mendatangkan mobil untuk mengantarmu ke rumah sakit, tempat akhirnya kau berpulang. Bersama kawan, menggala bantuan. Betapa, sedikit sekali aku membantumu wahai saudari.

Ingat kau, ingatkan aku akan tangis saat datang kabar bahwa kau telah tiada. Tahukah engkau saudari, doaku pada-Nya adalah meminta kebaikan akhirmu? Nampaknya, Ia mengabulkan. Kau terbaring sederhana, layaknya permaisuri yang tertidur. Dan nampaknya kau tersenyum. Di saat itu, aku tak lagi menangis. Aku mengusapnya dan bangga akan dirimu, saudari. 


Ingat kau, ingatkan aku akan aduan ibumu. Di mana aku masih sering mengunjunginya. Ia berkisah banyak tentangmu, tentang kebaikanmu dan tentang tangis temanmu. Ia heran, mengapa semua laki-laki dan perempuan menangus karena kepergianmu. Betapa banyak yang mengunjungimu. 


Ingat kau, ingatkan aku akan mimpi bertemu denganmu. Bahwa kita telah lama tak jalan bersama. Kau mengapit tanganku, mengikut kemana aku pergi. Saat ku ingatkan bahwa arah kita tak sama, kau justru berujrar:

"Siti kangen jalan bareng dengan uus."
Hari bergulir. Tak terasa, empat tahun lebih sudah kau meninggalkan dunia. Meninggalkan kami. Bertambah sudah kesibukan kami dan hilangnya ingatan kami tentangmu. Berkurang sudah intensitasku mengunjungi rumahmu dan rumah orangtuamu. Hingga ada yang membuatku terkejut, wahai saudari. Ternyata, lupa milik keluargamu juga. Pendar cahaya rembulan itu mulai hilang. Cahaya yang mengobirtkan al-huda, cahaya Sang Pemilik Kebaikan. Ia berangsur pekat sepekat malam tanpa bintang. Oh, saudari, adakah kau tahu kabar keluargamu?

Lupa pun milik mereka dan aku. Setelah dua tahun lamanya tak bersua, kami tak begitu mengenal dan lupa gurat wajah itu. Untung saja, lokasi yang menetap membuat kami sadar bahwa dulu kami pernah dekat. Aku kepadamu dan mereka kepadamu. Adakah kau lihat mata tua itu memerah dan menghasilkan air mata, wahai saudari? Telah begitu lama tahun berjalan, tapi masih ada kami yang ingat kepadamu. Ia bersyukur tiada henti, meski keanehan datang. Getir rasanya, mengapa malam bertambah pekat? Adakah Allah hilangkan pendarmu disini?


Duhai, saudari. Bagaimana kabarmu disana? Apakah ia terang benderang layaknya namamu? Dan Allah kabarkan tempat terbaikmu? Lapangkah ia sebagaimana lapangnya hatimu? Di antara doa-doa kepadamu yang kini aku mulai melupakannya. Tapi, ingatan itu masih akan terus bergulir, wahai saudariku. Engkau saudariku, adakah yang lebih tinggi tenimbang derajat saudari di dalam dienul Islam? 


Duhai, saudari. Adakah mau engkau mengunjungiku sekali saja? Agar rindu ini memiliki gambaran wajahmu, wahai saudari. Semoga kelak kita dipertemukan karena rabithah kita kepada-Nya. Aamiin..


Allahumma innaka ta'lamu anna hadzihil qulub, qadijtama-at 'alaa mahabbatik, wal taqat 'alaa tha'atik, wa tawahhadat 'alaa da'watik, wa ta ahadat ala nashrati syari'atik. Fa watsiqillahumma rabithataha, wa adim wuddaha, wahdiha subuulaha, wamla'ha binuurikal ladzi laa yakhbu, wasy-syrah shuduroha bi faidil imaanibik, wa jami' lit-tawakkuli 'alaik, wa ahyiha bi ma'rifatik, wa amitha 'alaa syahaadati fii sabiilik...


Innaka ni'mal maula wa ni'man nashiir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar