Sabtu, 03 Agustus 2013

Wahai Engkau, Aku Iri padamu.

Aku kira, aku belum pernah merasakannya. Menjadi kertas putih, setelah sekian lama tercoret segala tinta. Menjadi sebening embun yang terpisah dari keruhnya parit mengalir. Merasakan jiwa yang bebas dan bertakbir sekuat raga. Menjadi dirimu yang bersinar dari persembunyianmu dulu. Ah, aku iri padamu.

Aku kira, aku belum tahu bagaimana rasanya. Menjadi dirimu yang terisak mengeja talbiyah. Menjadi dirimu, menjadi pribadi paripurna dengan pilihannya. Menjadi dirimu, yang begitu yakin dengan pilihannya. Menjadi dirimu, begitu dekat hatimu pada-Nya. Meski kau pernah mengadu, engkau tak tahu mengapa hati ingin mencurahkan tangisnya. Ah, aku iri padamu.



Mungkin, ini adalah ekspresi ketidaksyukuranku. Bahwa aku lahir secara fitrah sebagai muslim dan muslimah. Tapi engkau tahu, memilih muslim adalah beda dengan dilahirkan sebagai muslim. Bak melihat sirah shahabiyah, mentalqin dirinya memilih agama. Aku melihat Khadijah, aku melihat Abu Bakr, aku melihat Ali, aku melihat Utsman, aku melihat Umar. Mereka, keyakinan mereka, ada dalam dirimu. Duhai.

Melihat keteguhanmu mempertahankan akidah, aku melihat Bilal, aku melihat Sumayyah, aku melihat para shahabiyah hadir di getir perjuanganmu. Aku melihat Umar yang terburu-buru mengejar raka'at pertama. Aku melihat Ali yang menyerap segala ilmu agama. Aku melihat Abu Bakr yang ingin mengerjakan semua amal shalih. Aku melihat Utsman dan kedermawannya. Duhai.

Engkau bak bayi yang mengeja alif-ba-ta. Meniru titah guru mempraktikan takbir-ruku'-sajadah. Sedang kami, di usia bayi keislamannya, kami tetaplah bayi yang hanya mengerang dan menangis. Mendengar cakap dan dialog sekitarnya, tanpa kami bisa memilih apa yang harus kami dengar. Mereka yang beruntung, mendengar alunan Quran demikian merdu. Namun, ada pula yang nasibnya mirip denganmu pun aku, mendengar-belajar di keluarga yang awam agamanya. Ah, aku iri padamu.

Di usia kanakmu, kau menjejak langkah menuntut ilmu agama. Sungguh, aku melihat besar mujahadah itu ada padamu. Mengeja satu dua ayat, menyimak maknanya dan mengamalkannya. Di usia kanakmu, engkau ikut dalam komunitas kami: remaja Islam. Usia keislaman yang jauh berbeda. Di usia kanakmu, engkau ikut mendakwahkan Islam. Padahal dulu, usia kanak kami hanyalah bermain dan bermain saja. Ah, sungguh, aku iri padamu.

Bagaimana dengan usiamu kala remaja dan beranjak dewasa nanti? Meski lisanmu berkali mengadu, aku begitu tertinggal jauh. Bolehkah kini aku mengadu? Aku demikian tertinggalnya dibanding dirimu? Apalagi saat ku dengar, ada seorang bayi di usia keislamannya mengkhatamkan Quran selama setahun. Aku kira, dialah bayi termuda penghafal Quran, di usia senjanya di dunia. Duhai.

Bolehkah aku mengadu? Sungguh, aku iri padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar